
ALIANSI yang terbentuk antara Donald Trump dan Elon Musk, dua tokoh berpengaruh yang pernah tampak tak terpisahkan itu kini resmi berakhir dengan cara yang dramatis dan penuh konflik.
Keduanya sebelumnya membentuk kemitraan yang tak lazim, menggabungkan kekuatan politik Trump dengan kekayaan dan pengaruh media sosial Musk.
Mulai Berselisih?
Namun pada Kamis (6/6), hubungan itu runtuh di hadapan publik, saat keduanya terlibat saling serang di platform media sosial masing-masing atas berbagai isu, mulai dari kebijakan ekonomi hingga komentar pribadi.
Perselisihan berawal dari perbedaan pandangan terhadap RUU kebijakan dalam negeri yang dianggap penting oleh Presiden. Musk mengecam rancangan undang-undang itu sebagai “kekejian yang menjijikkan,” yang dinilainya akan memperburuk defisit anggaran.
Serang Pribadi?
Ketegangan meningkat cepat menjadi adu sindiran yang menyentuh hal-hal pribadi.
Trump mempertanyakan keputusan Musk untuk tidak menutupi memar di wajahnya saat tampil di Ruang Oval minggu lalu.
Cabut Dukungan?
Dia juga mencabut dukungan untuk calon NASA yang diajukan oleh Musk. Di sisi lain, Musk menuduh Trump tidak tahu berterima kasih dan menyebut sudah waktunya membentuk partai baru yang merepresentasikan 80% masyarakat di tengah.
“Tanpa saya, Trump akan kalah dalam pemilihan,” tulis Musk di X seperti dilansir New York Times, Jumat (6/6).
“Demokrat akan menguasai DPR dan Republik akan berada di posisi 51-49 di Senat. Sungguh tidak tahu terima kasih,” tambahnya.
“Cara termudah untuk menghemat uang dalam Anggaran kita, Miliaran dan Miliaran Dolar, adalah dengan menghentikan Subsidi dan Kontrak Pemerintah Elon," Trump merespons dengan keras di Truth Social.
Dampak Besar?
Ketegangan ini juga berdampak langsung pada pasar. Saham Tesla anjlok 14%, menjadikannya penurunan harian terbesar dalam sejarah perusahaan. Saham Trump Media & Technology Group, perusahaan induk Truth Social, ikut turun hingga 8%.
Tidak hanya hubungan pribadi yang runtuh, perpecahan ini juga mengacaukan dinamika strategis dalam masa jabatan kedua Trump.
Musk sebelumnya menjadi salah satu tokoh kunci dalam upaya pemerintah untuk memangkas pengeluaran dan birokrasi, serta menyumbang hampir US$275 juta selama kampanye 2024. Ia bahkan dijanjikan akan menyumbang US$100 juta untuk pemilu paruh waktu 2026-dana yang kini nasibnya tidak pasti.
Tentukan Posisi?
Penasihat Trump mengakui, konfrontasi terbuka ini memaksa para sekutu di sektor politik dan teknologi untuk menentukan posisi.
“Ini adalah episode yang tidak menguntungkan dari Elon,” kata Karoline Leavitt, sekretaris pers Gedung Putih.
“Presiden fokus meloloskan undang-undang bersejarah ini dan membuat negara kita hebat lagi," sebutnya.
Harus Damai?
Meskipun demikian, ada upaya untuk meredam ketegangan. Ketika miliarder Bill Ackman menulis bahwa keduanya “harus berdamai demi kebaikan negara kita,” Musk membalas singkat: “Anda tidak salah.”
Namun, keretakan tetap mendalam. Ashley St. Clair, penulis konservatif yang juga ibu dari anak Musk, turut menyindir: “Hai @realDonaldTrump, beri tahu saya jika Anda butuh saran untuk putus cinta.”
Hilang Pengaruh?
Trump menuduh Musk kecewa karena kehilangan pengaruh atas kebijakan Gedung Putih. “Saya sangat kecewa dengan Elon,” ujar Trump. “Saya telah banyak membantu Elon,” tambahnya.
Dia juga menyebut Musk sebagai bagian dari pola mantan pejabat yang “bangun di pagi hari, kemewahannya hilang, seluruh dunia berbeda dan mereka menjadi bermusuhan.”
Alami Sindrom?
Trump menambahkan bahwa Musk kini mengalami sindrom gangguan Trump.
Musk tak tinggal diam. Ia menilai tarif khusus Trump akan menyebabkan resesi dan menyebarkan unggahan lama Trump yang mengkritik pengeluaran federal. “Di mana orang ini sekarang?” tanya Musk.
Tuduhan Trump?
Trump balik menuduh Musk mengecam RUU karena kehilangan subsidi kendaraan listrik.
“Elon ‘sudah kurus kering,’ saya memintanya untuk pergi dan dia menjadi gila,” tulis Trump.
Jawaban Musk?
Musk menjawab tuduhan itu di X: “Kebohongan yang sangat jelas. Sangat menyedihkan.”
Kini, dengan semakin panasnya pertikaian ini, masa depan hubungan politik dan bisnis antara dua tokoh paling berpengaruh di Amerika Serikat itu berada di ujung tanduk — dengan potensi konsekuensi besar bagi pemilu mendatang dan arah kebijakan negara.(Fer/P-3)