
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai menerapkan pajak sebesar 10% terhadap 21 jenis fasilitas dan aktivitas olahraga melalui mekanisme Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) kategori jasa hiburan. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jaya menilai kebijakan ini layak dikaji ulang agar tidak membebani pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), komunitas olahraga, dan masyarakat yang sedang berupaya menjalani gaya hidup sehat.
Kebijakan ini merujuk pada Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta No. 257 Tahun 2025, yang mengatur pengenaan pajak atas berbagai bentuk pembayaran seperti sewa lapangan, pemesanan (booking fee), penjualan tiket masuk, hingga paket layanan.
Adapun fasilitas olahraga yang terkena pajak meliputi lapangan tenis, futsal, badminton, basket, voli, squash, panahan, hingga kegiatan di pusat kebugaran seperti yoga, zumba, dan pilates. Aktivitas lainnya seperti berkuda, panjat tebing, ice skating, hingga olahraga yang sedang naik daun seperti padel, juga termasuk dalam daftar objek pajak.
Merespon hal itu, Hipmi Jaya menyatakan kebijakan pengenaan tarif seragam sebesar 10% perlu mempertimbangkan beberapa aspek termasuk skala usaha dan segmentasi konsumen agar tidak berpotensi menyulitkan pelaku UMKM dan komunitas olahraga.
“Pengenaan pajak 10% sesungguhnya tidak masalah, asalkan ada timbal balik yang sepadan khususnya kepada pengusaha yang ingin membuat sarana olahraga. Misalnya kemudahan izin, kemudahan sarana pembiayaan, dan lain-lainnya," ujar Ketua Umum HIPMI Jaya, Ryan Haroen, dikutip dari siaran pers yang diterima, Sabtu (12/7).
Terlebih, lanjut Ryan, saat ini biaya hidup dan tekanan ekonomi masyarakat sedang meningkat, sehingga pajak ini bisa menjadi beban tambahan yang kontraproduktif terhadap misi gaya hidup sehat.
Di sisi lain, Hipmi Jaya menilai perlunya respon yang seimbang, terkait kebijakan fiskal boleh diterapkan selama dibarengi insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha.
Dirinya juga menyoroti persoalan mendasar dalam pendekatan kebijakan yang cenderung menyamakan aktivitas olahraga rekreatif dengan hiburan mewah.
“Terlepas dari apakah padel atau cabang olahraga lain banyak dimainkan oleh kalangan mampu atau tidak, kita harusnya melihat pada tujuan aktivitas ini sebagai sarana kesehatan bukan semata dari sisi hiburan," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Hipmi Jaya, Edlin Prabawa, menyebut bahwa pemerintah perlu melakukan sosialisasi menyeluruh agar kajian tersebut tepat sasaran.
“Pemprov perlu memiliki kajian, seberapa besar ekspektasi tambahan pendapatan dari pengenaan pajak hiburan pada aktivitas olahraga ini dan apakah akan menimbulkan efek kontraproduktif, termasuk klasifikasi yang memperhitungkan kontribusi sosial & kesehatan dari komunitas olahraga, contohnya pada olahraga padel," ujar Edlin.
Dari sisi teknis pelaksanaan, ketiadaan klasifikasi tarif berdasarkan skala usaha dinilai bisa memukul pelaku usaha kecil dan komunitas yang memiliki keterbatasan daya beli konsumen.
“Harus ada klasifikasi yang jelas tentang besaran pajak yang dikenakan mengingat skala lapangan tenis dan badminton sangat bervariasi, ada yang dari UMKM sampai korporasi. Begitupun juga dengan konsumennya, ada juga yang middle low yang sangat price sensitif," ujar Ketua Banom Tenis Hipmi Jaya, Asa Dahlan.
Hipmi Jaya menyatakan kesiapan untuk berdialog dan memberikan masukan kepada Pemprov DKI Jakarta. Dengan mengedepankan pendekatan kolaboratif, Hipmi Jaya berharap kebijakan perpajakan daerah bisa tetap mendorong pertumbuhan ekonomi lokal sekaligus menjaga semangat hidup sehat dan olahraga masyarakat. (E-3)