
HAMPIR 100 orang ditangkap setelah para demonstran berkumpul di Trump Tower, Manhattan, Kamis (14/3), mengecam penangkapan Mahmoud Khalil, seorang aktivis Palestina yang ditahan ICE. Penahan terhadap Khalil karena keterlibatannya dalam demonstrasi pro-Palestina di Universitas Columbia.
Aksi protes ini diselenggarakan Jewish Voice for Peace. Para demonstran mengenakan kaus merah bertuliskan “Not in Our Name” dan “Jews Say Stop Arming Israel,” memenuhi atrium emas ikonik Trump Tower. Mereka meneriakkan “Bebaskan Mahmoud Khalil” dan membentangkan spanduk bertuliskan “Never Again for Anyone” serta “Jews Say Do Not Comply.”
Menurut Departemen Kepolisian New York (NYPD), 98 orang ditangkap, 50 lainnya dibawa keluar dari lobi dengan tangan terikat menggunakan zip tie dan dimasukkan ke kendaraan polisi. NYPD melaporkan tidak ada korban luka maupun kerusakan properti dalam aksi tersebut. Seorang penyelenggara aksi menyiarkan langsung protes dari balkon yang menghadap atrium Trump Tower.
"Sebagai orang Yahudi, kami berada di sini hari ini, hanya beberapa jam sebelum perayaan Purim dimulai—hari di mana kami menghormati Esther yang menggunakan suaranya untuk berbicara dan menuntut agar raja tidak melakukan genosida," ujar seorang wanita dalam siaran tersebut. "Hari ini, kami menggunakan keberanian yang sama untuk bersuara."
Saat NYPD mulai menangkap para demonstran, mereka duduk bersama dan meneriakkan, “Bebaskan Palestina” serta “Dunia sedang menyaksikan.”
Aksi ini terjadi beberapa hari setelah Khalil ditangkap agen federal di rumahnya di New York, setelah pemerintahan Trump mencabut kartu hijau (green card)-nya. Dalam unggahan di Truth Social pada Senin (11/3), Trump menulis, “Jika Anda mendukung terorisme... kehadiran Anda bertentangan dengan kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri kami, dan Anda tidak diterima di sini.”
Pengacara Khalil menyatakan pemerintah AS telah melakukan tindakan balasan terhadap kliennya “karena berbicara membela Palestina”. Kliennya ditahan karena menggunakan hak kebebasan berbicaranya.
Kasus ini, yang tampaknya merupakan yang pertama dari jenisnya, bisa menjadi awal dari tindakan lebih lanjut saat pemerintahan Trump meningkatkan pengawasan terhadap mahasiswa asing dan demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus.
Saat ini, Khalil ditahan di fasilitas ICE di Louisiana. Pada Rabu (13/3), seorang hakim memutuskan ia akan tetap dalam tahanan selama proses hukumnya berlangsung. Istrinya, Noor Abdalla, yang merupakan warga negara AS, sedang hamil delapan bulan.
Khalil adalah seorang pengungsi Palestina yang tumbuh besar di Suriah. Ia tengah menempuh studi pascasarjana di Sekolah Hubungan Internasional dan Kebijakan Publik Universitas Columbia ketika Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. Setelah mahasiswa mulai menggelar protes di kampus, Khalil ditunjuk untuk mewakili koalisi kelompok mahasiswa dalam diskusi dengan pihak universitas.
Dalam wawancara dengan CNN pada musim semi lalu, Khalil mengatakan ia merasa terpanggil untuk berbicara atas nama rakyatnya. "Saya selalu mengatakan bahwa kami adalah orang-orang yang beruntung bisa berada di sini untuk berbicara mewakili rakyat kami yang hidup di bawah penindasan di Palestina, di kamp-kamp pengungsi, dan di kota-kota Palestina," kata Khalil.
Juliette Kayyem, analis senior keamanan nasional CNN, mengatakan bahwa protes di Trump Tower mencerminkan aksi yang juga menargetkan dealer mobil Tesla milik Elon Musk dalam beberapa hari terakhir. Hal ini menunjukkan tantangan unik yang dihadapi pemerintahan Trump dalam mengamankan kepentingan pemerintah dan swasta.
"Mereka sedang menghadapi, menurut saya, konsekuensi dari penggabungan antara komersialisasi, kebijakan, dan Amandemen Pertama," ujar Kayyem kepada CNN pada Kamis (14/3).
Sonya Meyerson-Knox, direktur komunikasi Jewish Voice for Peace, mengatakan kelompok beranggotakan 300 demonstran tersebut merencanakan aksi di dalam Trump Tower sejak satu setengah hari sebelumnya.
Ia mengatakan kepada CNN bahwa mereka merasa terpanggil untuk memprotes penangkapan Khalil karena “kami tahu sejarah kami dan kami di sini untuk mengatakan ‘tidak akan pernah lagi.’”
"Saya berada di sini untuk menghormati apa yang diajarkan oleh leluhur saya, karena saya telah diajarkan tentang apa yang terjadi ketika rezim otoriter mulai mencari kambing hitam," ujar Meyerson-Knox. "Dan saya tahu bahwa jika kita tidak berbicara hari ini, kita tidak akan bisa berbicara lagi." (CNN/Z-2)