
TERUNGKAP pembicaraan yang diadakan antara para pemimpin senior Hamas dan perwakilan pemerintahan Amerika Serikat (AS) Donald Trump dipandang oleh masyarakat Palestina sebagai pemberian legitimasi kepada Hamas.
Baik di Amerika Serikat maupun Israel, para pejabat membingkai pembicaraan dengan Hamas sebagai tindakan terbatas yang semata-mata terkait dengan upaya Presiden AS Donald Trump untuk membebaskan sebanyak mungkin sandera.
Mereka mengeklaim pembicaraan langsung tersebut tidak menunjukkan perubahan strategis atau aspek diplomatik sejauh menyangkut Hamas. Baik Washington maupun Israel melabeli Hamas sebagai organisasi teroris pembunuh yang harus dihancurkan.
Pada Rabu (5/3), Trump mengancam Hamas dan menyerukan para pemimpinnya untuk meninggalkan Jalur Gaza. Kepala staf IDF yang baru, Letnan Jenderal Eyal Zamir, juga menyoroti minggu ini keharusan untuk mengalahkan Hamas.
Hamas telah menjelaskan bahwa pembicaraannya dengan Adam Boehler, utusan khusus Trump untuk para sandera, telah difokuskan pada proposal untuk membebaskan para tawanan dan upaya menstabilkan gencatan senjata.
Namun, pejabat Hamas juga mengatakan pembicaraan itu dapat menyebabkan Amerika Serikat menyimpulkan bahwa mustahil untuk mencapai stabilitas pascaperang dan masa depan yang strategis bagi Gaza tanpa membahas masalah tersebut dengan Hamas dan mempertimbangkan posisinya.
Hamas tidak melihat pembicaraan dengan pemerintahan Trump sebagai sesuatu yang melewati batas, kata pejabat senior Hamas dan warga Palestina serta Arab lain yang mengetahui pembicaraan itu. Para pejabat ini, termasuk perwakilan dari faksi Palestina lain yang telah berbicara dengan para pemimpin Hamas selama dua minggu terakhir, mengatakan hanya Israel yang tidak boleh didiskusikan.
Pimpinan senior Hamas menganggap kontak dengan pejabat AS dan Eropa tidak hanya dapat diterima, tetapi juga pengakuan tidak langsung atas statusnya sebagai kelompok politik Palestina yang sah.
Namun, bahkan pejabat Hamas yang paling pragmatis, sebagian besar pimpinannya di luar negeri, tahu bahwa masih terlalu dini untuk bergantung pada pembicaraan dengan pemerintahan Trump dan memprediksi ke arah mana mereka akan menuju.
Para pemimpin Hamas memahami bahwa hasil perang, pukulan bagi Hizbullah, jatuhnya rezim Assad di Suriah, dan dampak yang diharapkan dari meningkatnya tekanan AS terhadap Iran dan Rusia telah mengubah perhitungan kelompok tersebut.
"Ada perubahan internasional dan regional yang tidak diragukan lagi memengaruhi semua orang, termasuk kami," kata seorang pejabat senior Hamas kepada Haaretz.
"Hasil di lapangan di Jalur Gaza dan perubahan di Tepi Barat, dan yang terpenting terkikisnya Otoritas Palestina, menunjukkan upaya untuk mengakhiri masalah Palestina. Pada saat yang sama, Hamas harus mempertimbangkan kembali langkah-langkahnya terkait pengaturan apa pun di Gaza dengan syarat tidak merugikan prinsip-prinsip dasar kelompok tersebut."
Hamas didorong oleh dialog dan kontak pemerintahan Trump pertama dan pemerintahan Biden dengan Taliban di Afghanistan. Para pejabat juga menunjuk pemberontak di Suriah dan pemimpin mereka Ahmad al-Sharaa yang hingga baru-baru ini masuk dalam daftar teroris global dan berubah menjadi pemimpin yang sah di mata masyarakat internasional.
Pada saat yang sama, para pemimpin nasionalis Palestina yang sudah lama, baik dari Fatah maupun PLO, mengatakan bahwa pemerintahan AS sebelumnya mengambil langkah serupa. Seorang mantan pejabat senior Fatah mengatakan kepada Haaretz bahwa pada 1970-an dan awal 1980-an, Amerika Serikat melakukan pembicaraan langsung dengan pejabat senior PLO, bahkan ketika Israel tidak antusias dengan hubungan ini.
"Di mata Israel, PLO dan Fatah dengan semua cabangnya, dan tentu saja sayap militernya, dianggap sebagai organisasi teroris, tidak kalah kejamnya dengan Hamas saat ini, dan Amerika Serikat melakukan hubungan rahasia sepanjang waktu dengan orang-orang penting," kenangnya. "Hal-hal seperti itu telah terjadi sebelumnya, dan ini bukanlah perubahan yang revolusioner."
Meskipun demikian, mantan pemimpin senior PLO tersebut memperingatkan Hamas bahwa pengalaman mengajarkan bahwa kepentingan AS dan Israel selalu menjadi yang utama bagi Amerika Serikat, bahkan sebelum era Trump. Dengan demikian, Hamas tidak dapat mengandalkan pembicaraan dengan emerintahan Trump.
"Akan lebih baik bagi Hamas untuk tidak tertipu, karena Gaza bukanlah Suriah, dan tentu saja bukan Afghanistan," katanya. "Jika mereka tidak percaya, mereka harus bertanya kepada Mahmoud Abbas di Ramallah," tambahnya, merujuk pada presiden PA. (Haaretz/I-2)