
KETUA Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan rencana menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk membangun ulang Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, tidak adil bagi keluarga korban. Tragedi ambruknya bangunan di pesantren tersebut menewaskan puluhan santri.
Retno mengatakan pemerintah seharusnya terlebih dahulu melakukan investigasi menyeluruh sebelum memutuskan pembangunan kembali.
"Jangan langsung dibangun, dengan biaya APBN pula. Apalagi insiden tersebut telah menewaskan 67 santri, yang notabene masih usia anak. Bahkan dibutuhkan beberapa hari bagi tim SAR gabungan untuk mengevakuasi puluhan korban yang tertimbun di reruntuhan musala tersebut," ungkapnya dilansir dari keterangan tertulis, Senin (13/10).
Alih-alih memulihkan kembali infrastuktur, keputusan tersebut bisa menyebabkan perasaan keluarga korban terluka. Ia menegaskan, pemerintah seharusnya memikirkan keinginan mereka dahulu dalam melakukan investigasi.
Hingga kini, polisi masih mendalami dugaan pelanggaran hukum atas ambruknya musala Ponpes Al Khoziny. Setidaknya belasan saksi telah diperiksa dengan menggunakan Pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka-luka.
Penyelidikan masalah ini juga bisa didasarkan pada UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Gunanya untuk memastikan apakah konstruksi musala sudah memenuhi standar teknis yang diatur dalam undang-undang.
Di tempat yang sama, Ketua Umum FSGI Fahmi Hatib menilai pelibatan santri dalam pembangunan musala bisa termasuk bentuk eksploitasi anak. Praktik juga menimbulkan kecaman lainnya dari publik.
"Pelibatan para santri dalam pembangunan mushola Ponpes Al Khoziny dapat diduga kuat melanggar UU Perlindungan Anak karena berpotensi sebagai eksploitasi anak. Para santri belajar di Ponpes tersebut untuk menimba ilmu dan mereka bayar untuk itu semua. Mereka bukan kuli bangunan," tegas Fahmi.
FSGI menilai ada tiga pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban bila terbukti lalai. Pihak pertama yakni pengurus ponpes. Mereka adalah pihak yang tetap menggunakan bangunan meski sedang dalam proses pengecoran. Kedua ialah kontraktor. Mereka harus dibuktikan apakah telah ceroboh dalam pembangunan atau tidak.
Ketiga yaitu pemerintah, khususnya Kementerian Agama. Menurut FSGI, Kemenag telah gagal melakukan pengawasan terhadap kelayakan dan keselamatan bangunan.
Selain menolak penggunaan APBN untuk membangun ulang Ponpes Al Khoziny, FSGI juga meminta pemerintah memprioritaskan pemulihan korban selamat. Khususnya yakni para santri yang kini mengalami disabilitas akibat tragedi tersebut.
"FSGI mendesak pihak Ponpes dan Pemerintah memikirkan kelangsungan hidup anak-anak yang selamat namun menjadi disabilitas karena harus diamputasi tangan atau kakinya," tegas dia.
FSGI menekankan bahwa tragedi ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua lembaga pendidikan agar mengutamakan keselamatan siswa. FSGI berharap ada keadilan bagi para korban.
"Selain itu, trauma dan luka psikologis akibat tragedi tersebut juga harus dilakukan pemerintah pusat dan daerah bagi anak-anak yang selamat," pungkasnya. (H-4)