
FEDERASI Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan penolakan terhadap program Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang menyelenggarakan pendidikan ala militer untuk anak-anak yang dianggap bermasalah. FSGI menilai pengiriman siswa bermasalah ke barak militer merupakan kebijakan instan, tidak menyentuh akar masalah, dan berpotensi tidak berdampak jangka panjang dalam perubahan perilaku.
Untuk itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab diminta segera melakukan monitoring dan evaluasi.
"Kami meminta Menteri Pendidikan Dasar Menengah agar segera mengambil tindakan dengan menghentikan pengiriman siswa nakal ke barak militer di Jawa Barat. Karena kegiatan ini tidak memiliki landasan psikologis dan pedagogik yang jelas,” kata Sekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung dalam keterangannya, Senin (19/5).
FSGI menilai kegiatan itu tidak disiapkan dengan matang. Ia menyoroti tidak adanya dokumen yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan ini termasuk perencanaan, pembelajaran, dan penilaian.
Di samping iti, tidak adanya kurikulum, silabus maupun modul ajar dalam kegiatan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa siswa-siswa ini hanya akan jadi kelinci percobaan. FSGI menyebut idealnya dalam sebuah proses pendidikan dilakukan dengan usaha yang sadar dan terencana.
"Jadi tujuannya harus jelas, kurikulumnya sinkron dengan tujuan, silabus juga harus ada dan modul ajar juga harus disiapkan. Sehingga bisa kemudian dilakukan evaluasi karena jelas apa yang mau diukur sesuai dengan tujuannya, instrumen yang akan digunakan, kapan akan dilakukan evaluasi serta bagaimana pengolahan hasil evaluasinya," katanya.
Lebih lanjut Fahriza menyebutkan bahwa kegiatan barak militer tersebut tidak memiliki perencanaan aksi yang jelas. Tidak juga berbasiskan data, kajian, dan pengalaman pihak lain sebagai contoh.
"Misalnya pendidikan di Sekolah Taruna Magelang, kurikulumnya jelas sebagaimana sekolah umum lainnya dan dididik oleh guru-guru berkualitas, sementara urusan pengemblengan fisik saja yang ditangani militer, porsi guru jauh lebih besar dalam proses pembelajaran," katanya.
Selama ini, lanjutnya, untuk menangani siswa yang bermasalah, sekolah telah memiliki program pembinaan dan pelatihan seperti Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Pramuka, UKS, PMR, dan lain-lain.
Jika program ini dianggap kurang berhasil, kata Fahriza, maka sudah semestinya dievaluasi dahulu apa masalahanya agar bisa dimaksimalkan, dan tidak harus dibawa ke barak militer.
FSGI menilai TNI bukan satu-satunya instansi yang bisa diajak kerja sama dalam pembinaan kesiswaan. "Banyak instansi yang akan dilibatkan seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPAPP), Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kwarcab Pramuka, BNN, Kepolisian dan instansi terkait lainnya. Jadi sekolah tetap menjadi pusat pembelajaran dan pembinaan kesiswaan," ujar Ketua Umum FSGI Fahmi Hatib.
FSGI mengingatkan bahwa sudah ada Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Melalui peraturan iti, anak-anak yang terlibat kekerasan ditangani secara komprehensif dengan melibatkan instansi terkait di luar sekolah, seperti Dinas Sosial dan Dinas PPAPP selain sekolah dan Dinas Pendidikan setempat.
"Artinya penanganannya memang harus dilakukan bersama dengan pemerintah daerah. Ini yang harus diperkuat perannya di daerah," ujar Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti.
FSGI juga mengajak semua pihak untuk menggunakan peraturan perundangan dalam penanganan siswa bermasalah di sekolah, termasuk peran orangtua dalam pengasuhannya. “Pemerintah Daerah harus memiliki program penguatan ketahanan keluarga dan Pemda harus memperbanyak psikologi keluarga dalam membangun kesehatan mental anak dan orangtua”, tambah Retno. (H-3)