
INTER Milan akan memasuki laga puncak Liga Champions melawan Paris Saint-Germain (PSG) dengan mengandalkan pengalaman yang telah menempa skuad mereka sepanjang musim.
Di bawah arahan Simone Inzaghi, Nerazzurri disebut-sebut telah siap menghadapi tantangan terakhir dalam upaya menyelamatkan musim yang penuh gejolak.
Harapan besar sempat menyelimuti perjalanan Inter musim ini. Tim terlihat berada di jalur yang tepat untuk mengulang pencapaian treble seperti yang dilakukan di era Jose Mourinho pada 2010.
Namun, kegagalan di Coppa Italia dan lepasnya gelar Serie A ke tangan Napoli membuat final Liga Champions di Munich pada hari Minggu (1/6) menjadi penentu nasib musim mereka.
Simone Inzaghi sebelumnya sudah pernah merasakan pahitnya kegagalan di final Liga Champions saat timnya takluk dari Manchester City dua tahun lalu. Kini, ia kembali di hadapan peluang besar—namun kali ini dengan luka segar akibat kekalahan yang dialami pada hari terakhir Serie A.
"Kejuaraan yang baru saja berakhir meninggalkan kami dengan sesuatu yang perlu diingat," kata Inzaghi dikutip dari Bein Sports.
"Ada banyak penderitaan dalam diri saya dan para pemain, tidak ada gunanya menyangkalnya."
Kekalahan menyakitkan 0-3 dari AC Milan di semifinal Coppa Italia serta kegagalan menjaga posisi puncak klasemen liga menjadi pengingat bahwa treble hanyalah angan yang belum bisa terwujud. Kendati demikian, kiprah mereka di kancah Eropa menunjukkan performa yang jauh lebih meyakinkan.
Catatan pertahanan impresif
Inter menutup fase grup di posisi keempat dengan catatan pertahanan impresif, hanya satu gol bersarang ke gawang mereka dalam delapan laga.
Musim sebelumnya, pertahanan yang kukoh juga menjadi fondasi keberhasilan mereka merengkuh gelar Serie A dengan hanya kebobolan 22 gol dalam 38 pertandingan. Ketangguhan yang sama kini mereka bawa ke kompetisi Eropa, terutama di babak gugur yang penuh drama.
Empat laga terakhir di Liga Champions menyuguhkan ketegangan tinggi, terutama di semifinal menghadapi Barcelona. Dalam duel yang menegangkan, Inter memastikan tempat di final lewat kemenangan agregat 7-6, dengan Francesco Acerbi menyamakan kedudukan di waktu tambahan dan Davide Frattesi mencetak gol kemenangan sebagai pemain pengganti.
Acerbi, bek senior berusia 37 tahun, menjadi simbol ketangguhan dan ketekunan Inter. Ia masih membawa luka dari kekalahan di final dua tahun silam dan kini membalasnya dengan gol pertamanya di ajang Eropa.
Inter, berbeda dengan PSG yang dihuni banyak talenta muda, lebih mengandalkan pengalaman para pemain veteran seperti Yann Sommer, Matteo Darmian, Henrikh Mkhitaryan, Stefan de Vrij, Hakan Calhanoglu, Piotr Zielinski, Marko Arnautovic, dan Mehdi Taremi—seluruhnya berusia di atas 30 tahun.
Menit bermain pemain
Data mendukung dominasi usia tersebut. Hanya Atletico Madrid (43,5 persen) yang memberikan menit bermain lebih besar kepada pemain di atas 30 tahun dibandingkan Inter (43,3%). Para pemain senior Inter telah mencatat total 6.151 menit di Liga Champions musim ini, tertinggi sejak Juventus musim 2016-17.
Konsistensi juga menjadi kekuatan mereka. Inter hanya tertinggal selama 1,2 persen dari total waktu bermain mereka di Liga Champions musim ini. Bahkan saat sempat tertinggal dalam tiga pertandingan, mereka tak pernah berada dalam posisi tersebut lebih dari enam menit—terlama terjadi saat melawan Bayern (370 detik), serta Bayer Leverkusen (285 detik) dan Barcelona (343 detik).
Dengan sebagian besar waktu pertandingan dihabiskan dalam posisi unggul (50,8 persen), Inter menunjukkan kestabilan luar biasa yang bisa menjadi kunci saat melawan PSG yang tengah berburu sejarah treble-nya sendiri. (Ndf/I-1)