Ekonom Khawatirkan Dampak Kebijakan Tarif Sekunder AS terhadap Indonesia

1 day ago 5
Ekonom Khawatirkan Dampak Kebijakan Tarif Sekunder AS terhadap Indonesia Ilustrasi--SPBU milik perusahaan minyak Rusia Tatneft di Moskow.(AFP/NATALIA KOLESNIKOVA)

PERNYATAAN Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, baru-baru ini, mengguncang pasar energi dunia. Ia menyatakan akan menerapkan tarif sekunder sebesar 25% hingga 50% terhadap negara mana pun yang membeli minyak dari Rusia kecuali jika Moskow menyetujui gencatan senjata dalam konflik Ukraina.

Merespon hal itu, Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut pernyataan Trump itu memicu kekhawatiran luas. 

"Dunia kini menghadapi bukan hanya konflik militer, tetapi juga potensi konflik dagang global berbasis energi. Dalam konteks ini, tarif sekunder menjadi senjata diplomatik yang menekan negara-negara mitra Rusia tanpa perlu menargetkan Rusia secara langsung," ucap Syafruddin dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (1/4).

Di atas kertas, sambungnya, kebijakan tarif sekunder tampak strategis. Pasalnya, AS ingin menekan Rusia secara tidak langsung dan memaksa negara lain untuk meninggalkan pasokan energi dari Moskow. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini sangat problematik. 

Lebih berbahaya lagi, kebijakan ini membuka babak baru dalam penggunaan hegemoni ekonomi AS untuk mengatur kebijakan luar negeri negara lain.

Sebagai contoh, kebijakan ini menempatkan negara-negara berkembang, seperti India, dalam dilema. Pasalnya, India telah menjadi pembeli utama minyak mentah Rusia, mencapai 35% dari total impor minyak mereka pada 2024. 

"Mengapa? Karena minyak Rusia ditawarkan dengan harga diskon besar, sangat menguntungkan untuk menjaga inflasi dan stabilitas fiskal. Jika India harus menghindari minyak Rusia demi menghindari tarif AS, harga energi dalam negeri akan naik drastis. Situasi yang sama bisa terjadi di banyak negara Global South. Negara-negara ini tertekan antara kebutuhan energi murah dan risiko kehilangan akses ke pasar AS," ungkapnya.

Di sisi lain, meskipun Indonesia sendiri bukan pembeli langsung minyak Rusia dalam jumlah besar, tetapi sangat rentan terhadap dampak global. 

"Lonjakan harga minyak akibat gejolak pasar dapat meningkatkan beban subsidi BBM, memperlemah nilai tukar rupiah, dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat," bebernya.

Berkaca dari hal itu, ia menekankan bahwa Indonesia perlu mengutamakan ketahanan energi nasional agar tidak mudah terguncang oleh gejolak pasar global. 

Di saat yang sama, diplomasi strategis harus diperkuat untuk menjaga kepentingan nasional di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks. 

"Pemerintah perlu mengambil langkah terintegrasi untuk menghadapi tekanan energi global dengan mengamankan pasokan dari berbagai mitra internasional sekaligus memperkuat cadangan nasional sebagai benteng ketahanan dalam jangka pendek," tegasnya. 

Di sisi lain, lanjutnya, percepatan transisi menuju energi terbarukan harus menjadi prioritas strategis guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar minyak global yang rentan. 

Secara paralel, Indonesia juga harus aktif menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang di forum G20 dan ASEAN, khususnya dalam menolak kebijakan sepihak yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan geopolitik dunia.

"Kita juga harus memperkuat kerja sama bilateral dengan mitra-mitra energi seperti Arab Saudi, UEA, dan bahkan mitra regional seperti Malaysia. Selain itu, Indonesia bisa mendorong kerangka kerja multilateral yang melindungi kedaulatan energi dan hak negara untuk menentukan mitra dagangnya," pungkasnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |