
ANGGOTA Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, mengapresiasi keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang tidak akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) maupun harga jual eceran (HJE) pada tahun 2026.
Ia menilai kebijakan ini sebagai langkah strategis yang berpihak pada rakyat, menjaga keberlanjutan industri hasil tembakau (IHT) sebagai sektor padat karya, sekaligus memperkuat arah hilirisasi dan daya saing industri nasional.
“Keputusan Pak Purbaya ini sangat tepat dan perlu diapresiasi. Di tengah kondisi ekonomi yang masih menantang, menjaga stabilitas industri padat karya seperti IHT adalah keputusan yang berpihak pada rakyat,” ujar Bambang melalui keterangannya, Selasa (21/10).
Menurut Bambang, IHT merupakan salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, baik secara langsung di pabrik maupun tidak langsung melalui petani tembakau, cengkih, hingga pedagang kecil. “Jutaan masyarakat menggantungkan hidup dari sektor ini. Jika cukai terus dinaikkan tanpa mempertimbangkan daya serap pasar, maka dampaknya bisa besar terhadap tenaga kerja dan penerimaan negara,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kebijakan stabilisasi fiskal untuk industri tembakau tahun depan akan memberi ruang bagi pelaku industri untuk meningkatkan daya saing dan memperkuat hilirisasi industri nasional.
“Dengan tidak naiknya cukai dan HJE, industri bisa kembali fokus pada peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Inilah semangat hilirisasi yang sebenarnya,” tegas Bambang.
Lebih lanjut, Bambang menilai keputusan Purbaya memberikan kepastian bagi dunia usaha menjadi fondasi penting bagi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kalau kebijakan fiskal dan industri sejalan, hasilnya adalah stabilitas, dan dari stabilitas itu akan lahir pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar kebijakan ini diikuti dengan penguatan pengawasan terhadap rokok ilegal serta pemberdayaan petani dan pelaku UMKM yang terlibat dalam rantai produksi IHT.
“Dengan menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlanjutan usaha legal, pemerintah memberi perlindungan terhadap industri dan keberlangsungan hidup jutaan keluarga yang bergantung padanya. Mudah-mudahan ini menjadi kebijakan konkret bagaimana koordinasi ekonomi yang baik bisa berdampak langsung pada rakyat,” terangnya.
Namun demikian, Bambang juga menyoroti pentingnya konsistensi kebijakan lintas sektor dalam mendukung keberlangsungan industri hasil tembakau. Ia mengingatkan bahwa kebijakan fiskal yang progresif harus diimbangi dengan regulasi yang tidak kontraproduktif terhadap sektor padat karya.
Ia secara khusus meminta Kementerian Kesehatan tidak terus mendorong implementasi regulasi yang berpotensi mematikan industri, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Kedua regulasi tersebut mengatur penyeragaman kemasan rokok dengan warna yang sama serta larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
“Kebijakan pada PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes sebaiknya dikaji ulang agar tidak kontraproduktif terhadap keberlangsungan sektor padat karya,” tegas Bambang.
Sebagai informasi, IHT hingga kini menjadi salah satu penopang utama penerimaan negara, dengan kontribusi cukai mencapai Rp216 triliun pada tahun 2024. Selain itu, industri ini juga menyerap hampir 6 juta tenaga kerja, secara langsung maupun tidak langsung belum lagi tenaga kerja dari 30 juta UMKM yang berhubungan dengan rokok dari total 67 juta UMKM yang ada di Indonesia, menjadikannya salah satu sektor padat karya paling signifikan dalam perekonomian nasional. (E-4)