
FEDERASI Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mendukung upaya Pemerintah melakukan deregulasi terhadap pasal-pasal terkait dengan tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 karena menyangkut nasib jutaan pekerja rokok.
"Jika sejalan dengan program pemerintah sendiri, kemudian dikaitkan dengan kebijakan padat karya atau industri padat karya, tentunya perlu dilakukan deregulasi," kata Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto A.S, saat menghadiri acara senam sehat dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-32 FSP RTMM SPSI PUK SP RTMM PT Djarum Kudus di Lapangan Desa Rendeng, Kabupaten Kudus, dilansir dari keterangan resmi, Sabtu (31/5).
Pembatasan Penjualan?
Menurut dia, beberapa pasal di dalam PP 28/2024 memang wajar perlu disempurnakan, bahkan jika memungkinkan dibatalkan karena bisa menghambat terhadap proses kebijakan pemerintah sendiri terkait dengan penyelamatan industri padat karya.
Dalam PP 28/2024, kata dia, terdapat larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, kemudian kemasan polos tanpa merek, termasuk promosi berjarak 500 meter, serta aturan penempatan etalasenya.
"Hal itu kan suka tidak suka menghambat penjualan rokok di pasaran. Jika serapan pasarnya rendah, berimbas pada nasib buruh tidak bisa bekerja memproduksi rokok. Jadi, risikonya begitu besar terhadap tenaga kerja," ujarnya.
Hasil Kesepakatan?
Terkait dengan tindak lanjut dari hasil kesepakatan ketika melakukan unjuk rasa di Kantor Kementerian Kesehatan pada tanggal 20 Oktober 2024, menurut Sudarto, sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas.
"Seharusnya apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah pada saat ini benar-benar dibuktikan untuk industri padat karya, khususnya industri hasil tembakau (IHT)," ujarnya.
Nasib Buruh?
Dalam memperjuangkan kelangsungan nasib buruh rokok, pihaknya tetap mengedepankan dialog dalam waktu dekat, sekaligus berharap DPR RI, khususnya Komisi IX, bisa menjambatani aspirasinya.
"Lihat saja, dalam aksi senam sehat di Kudus pada hari ini (29/5) terdapat ribuan pekerja yang memerlukan perhatian dari Pemerintah dan harus diselamatkan dari berbagai regulasi yang menurut kami mengancam kelangsungan kehidupan mereka, pekerjaan mereka, bahkan penghasilan mereka," ujarnya.
Kenaikan Cukai?
Ia juga berharap adanya moratorium kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) selama 3 tahun ke depan karena kondisi ekonomi global dan domestik yang tidak menentu, serta tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketika harga rokok semakin mahal, lanjut dia, tentu susah laku, bahkan kalah bersaing dengan rokok ilegal yang dijual murah karena tanpa cukai.
Tanggapi Regulasi?
Tantangan lainnya, yakni kehadiran Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang terkadang ketika diterbitkan lebih eksesif daripada aturan di atasnya.
"Kami tidak menolak regulasi, tetapi regulasi harus memberi ruang kehidupan kepada buruh rokok. Mereka butuh kerja, mereka butuh penghasilan. Dan saat ini kami sedang sulit pekerjaan dan sulit orang yang mau membayar upah. Jangan tambah penderitaan mereka," ujarnya.
Kota Kretek?
Sementara itu, Bupati Kudus Sam'ani Intakoris mengakui di Kudus belum ada Perda KTR. Hal ini mengingat Kudus merupakan kota kretek.
"Termasuk terkait dengan pasal-pasal yang ada di dalam PP 28/2024, tentunya akan dikomunikasikan antara pemerintah, pekerja, dan industri serta pihak-pihak lainnya sehingga nanti ditemukan suatu keputusan yang bertujuan untuk kemakmuran bersama," ujarnya.
Untungkan Pekerja?
Dia berharap pemberlakuan aturan tersebut menguntungkan pekerja, mengingat Kota Kudus banyak industri rokok yang menyerap ribuan pekerja.
Demikian pula terkait dengan usulan moratorium kenaikan cukai hasil tembakau, pihaknya juga mendukung. "Kalau bisa, gaji buruh rokok yang naik agar makin sejahtera," katanya. (Des/P-3)