Buya Syafii, Pancasila, dan Kebinekaan

1 day ago 7
MI/Duta MI/Duta(Dok. Pribadi)

MOMEN Mei-Juni penting untuk disegarkan kembali. Pascawafatnya Buya Ahmad Syafii Maarif tiga tahun silam, generasi muda, murid-murid, ataupun kader-kader ideologisnya menahbiskan Mei sebagai Bulan Buya Syafii. Hal itu tak lain disebabkan sosok guru bangsa yang berasal dari Sumpur Kudus, Sijunjung, itu lahir dan wafat pada Mei (31 Mei 1935-27 Mei 2022).

Pada Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif yang dihelat di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2022, Fajar Riza Ul Haq yang merupakan salah satu kader ideologis Buya Syafii dan pernah menakhodai Maarif Institute menyatakan bahwa merawat dan mendiskusikan ulang pemikiran-pemikiran Buya Syafii tak ubahnya dengan kita merawat imajinasi mengenai Indonesia dan masa depan kemanusiaan. Dalam rangka itulah, salah satunya kenapa sejumlah kegiatan digelar di Bulan Buya Syafii ini.

Di sisi lain, pada Mei pulalah Sidang Pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diselenggarakan: 29 Mei 1945-1 Juni 1945. Pidato yang disampaikan Sukarno pada 1 Juni menjadi creme de la creme dengan membangkitkan kembali istilah Pancasila yang sudah lama tertimbun oleh debu sejarah. Oleh karena itu, Juni juga diperingati atau disebut sebagai Bulan Bung Karno.

Pancasila, yang oleh Sukarno disebut sebagai dasar statis sekaligus bintang penuntun, secara konstitusional disahkan pada 18 Agustus 1945 sebagai rumusan finalnya dengan sedikit perubahan redaksional dari Piagam Jakarta pada sila pertama. Berdasarkan kedudukannya itu, Pancasila menjadi acuan dan sumber validitas dalam memberikan hak-hak dan jaminan yang sama dan setara kepada seluruh warga negara.

HAL YANG NISCAYA

Menurut Buya Syafii, posisi Pancasila secara konstitusional sudah cukup kuat dan aman. Namun, sekali menyentuh pelaksanaan nilai-nilai luhurnya dalam politik negara dan strategi pembangunan nasional, Pancasila sering dibiarkan tak berdaya.

Ditabalkannya Indonesia sebagai negara yang religius tak lain karena memang Tuhan telah menyejarah sebegitu jauh dalam perjalanan bangsa ini. Mulai animisme dan dinamisme, kepercayaan-kepercayaan lokal (Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, dan lain sebagainya), hingga agama-agama besar dunia lainnya, seperti Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Katolik, dan Kristen (Latif, 2015).

Oleh karena itu, jaminan terhadap kebebasan beragama dan beribadah bagi segenap penghuninya menjadi hal yang niscaya. Sebagai guru besar dalam bidang kajian sejarah, Buya menelusuri akar-akar historis kebebasan beragama yang telah bersemayam dalam tubuh bangsa ini yang salah satunya terabadikan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular.

Bagi Buya, sasanti Bhinneka Tunggal Ika dalam karangan kuno tersebut merupakan warisan penting yang perenial, sekaligus telah bergulir jauh melampaui zamannya. Buya meyakini bahwa dengan berpedoman kepada sasanti tersebut, sebuah Indonesia yang utuh dengan agama, adat istiadat, warisan sejarah yang plural diharapkan akan bertahan lama, dengan syarat agar kebinekaan itu dihormati dan tidak pernah dikhianati siapa pun.

Berangkat dari kedalaman paham keislaman yang berkemajuan dan pemahaman sejarah yang mendalam, Buya Syafii Maarif berpandangan bahwa yang mengaku tidak bertuhan (ateisme) sekalipun berhak mendiami bumi Indonesia ini. Konstitusi beserta turunan hukum lainnya harus mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila. Artinya, Pancasila menjadi sumber nilai yang harus terpancarkan pada seluruh ayat dalam konstitusi dan perundang-undangan serta peraturan-peraturan lainnya.

Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat empat pokok pikiran yang salah satunya ialah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Paling tidak, terdapat dua sila yang menjadi dasar mengenai kebebasan beragama di Indonesia. Pertama dan yang utama sekali ialah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan berikutnya ialah sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Anak kalimat pengiring sila ketuhanan dalam Pancasila yang kita kenal sekarang sebenarnya telah mengalami penyempurnaan urutan dan redaksional. Dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno menyebutnya dengan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Sementara itu, berdasarkan kesepakatan pada 22 Juni 1945 yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta atau dalam istilah lain disebut Gentlemen’s Agreement (Latif, 2018), kata 'Ketuhanan' diiringi frasa 'dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' (kemudian dikenal dengan istilah 'tujuh kata').

Barulah satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan atau pada 18 Agustus 1945, tujuh kata tersebut dicoret dari Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sesuai dengan hasil mufakat dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuh kata itu lantas diganti dengan atribut baru nan strategis, yakni 'Yang Maha Esa', sehingga sila ketuhanan diabadikan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tidak diragukan lagi, tegas Buya Syafii Maarif dalam Islam dan Pancasila sebagai dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (2017), sila pertama menunjukkan konsep ketuhanan dalam Pancasila bukanlah fenomena sosiologis seperti yang disampaikan Sukarno pada 1 Juni, melainkan cerminan dari ajaran tauhid dalam Islam. Pandangan Buya terkait dengan tafsir Pancasila itu banyak dipengaruhi sosok yang dikaguminya, seorang moralis sejati sekaligus muslim yang taat, yakni Mohammad Hatta.

Lebih lanjut, Buya menilai umat selain Islam juga memiliki kebebasan dalam memaknai sila pertama tersebut sesuai dengan agama atau keyakinan masing-masing (Maarif, 2021). Hal penting yang ditegaskan Buya ialah masing-masing pihak dilarang keras memaksa pihak lain untuk mengikuti tafsiran atau keyakinannya, lebih-lebih umat Islam karena hal ini tegas-tegas dilarang Al-Qur’an (QS 2: 256).

Jelmaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu dalam Batang Tubuh UUD 1945 terkandung terutama dalam Pasal 29. Ayat 1 pasal tersebut berbunyi 'Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa', sedangkan dalam ayat 2 pada pasal yang sama disebutkan bahwa 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu'.

Senada dengan prinsip dasar dan jelmaannya itu, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, merupakan satu kesatuan dari sila pertama dan barang tentu juga mengandung prinsip-prinsip kebebasan beragama dan beribadah. Menurut Buya Syafii Maarif, sila kedua itu merupakan kelanjutan dari sila pertama dalam praktik.

Buya menegaskan bahwa klaim-klaim sebagai yang paling benar jangan sampai merusak perumahan kemanusiaan Indonesia sebagai negara semua buat semua dan tidak boleh juga keluar dari koridor sila kedua ini. Ungkapan Gandhi 'my nationaility is humanity' (kebangsaan saya adalah perikemanusiaan) yang dikutip Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, menurut Buya, dapat dibenarkan. Yang tidak dibenarkan dan ditolaknya ialah pandangan humanisme sekuler.

Ada yang berpendapat bahwa humanisme merupakan agama tanpa Tuhan (Armstrong, 2018). Buya dalam Al-Qur’an, Realitas Sosial, dan Limbo Sejarah (1995) mengutarakan keberatannya terhadap pandangan kaum humanis sekuler itu lantaran menampik peran iman, Tuhan, wahyu, dan agama. Sebaliknya, Buya justru meyakini bahwa wahyu diturunkan untuk manusia dan dalam rangka mengatasi berbagai problem kemanusiaan, seperti HAM, kekerasan, intoleransi, otoritarianisme, tirani, korupsi, dan ketidakadilan.

Dalam tilikan Sumanto Al-Qurtuby (10/6/2022), gagasan dan wacana humanisme yang digulirkan Buya menandai terjadinya sebuah proses pergeseran pembaruan pemikiran Islam di Indonesia dari gelombang pembaruan yang bersifat teologis-spekulatif ke isu-isu publik kemanusiaan yang lebih membumi. Dengan kata lain, Buya menekankan pentingnya penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Apa pun latar belakangnya, perlakuan adil dan beradab harus dijunjung tinggi dalam membela hak-hak dasar manusia, termasuk memberikan kebebasan kepada setiap individu terkait dengan apakah ia memilih untuk beragama ataupun sebaliknya.

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab pada Batang Tubuh UUD 1945 terkandung terutama dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan HAM, dan dalam konteks itu, perihal kebebasan beragama dan beribadah juga disebutkan secara eksplisit dalam beberapa pasal. Dalam ungkapan lain, Pancasila dengan sangat visioner telah merefleksikan komitmen bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal termasuk di dalamnya kebebasan beragama, bahkan tanpa harus merujuk pada Universal Declaration of Human Rights yang baru dideklarasikan pada 1948.

Dengan menjadikan alinea pertama preambule Pembukaan UUD 1945 sebagai titik anjak, Buya Syafii Maarif menilai konstitusi Indonesia sejak awal menekankan sentralnya posisi kemanusiaan dan keadilan, dan kedua hal itu merupakan ujung tombak dari nasionalisme Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. Lebih jauh lagi, Buya menyatakan bahwa setiap penjajahan, perbudakan, penindasan, dan rasialisme, dalam artiannya yang luas, adalah 'daki peradaban' yang harus dilenyapkan dari muka bumi.

PERLUNYA PERUBAHAN PARADIGMA

Sebagai mayoritas, kata Buya, muslim Indonesia harus memahami Islam secara jernih dan cerdas supaya mampu memberikan sumbangan yang dahsyat dalam rangka mengukuhkan keindonesiaan di bawah naungan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kedua sila tersebut berikut sila ketiga dan keempat, menuntut tegaknya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sesuatu yang menjadi tujuan akhir dari Pancasila.

Sila keadilan itu, seperti yang sering disuarakan Buya, telah lama menjadi yatim piatu. Mengutip pandangan filsuf Emmanuel Levinas seperti terbaca dalam satu dari sekian banyak karya monumentalnya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), Buya menegaskan bahwa dalam suatu masyarakat, keadilan barulah bernama keadilan dengan tidak ada perbedaan antara mereka yang dekat dan mereka yang jauh dari kita.

Usul Buya dalam upaya mencapai keadilan itu ialah perlunya perubahan paradigma yang mendasar dari yang semula bersikap mau memonopoli kebenaran ke arah sikap yang mau berbagi dengan menginsafi bahwa kebinekaan Indonesia merupakan sebuah realitas dan fakta yang tak bisa disangkal. Dalam prolog buku Fikih Kebinekaan (2015), Buya menulis:

'Seluruh suku bangsa, pemeluk agama, atau yang kurang hirau dengan agama harus merasa aman dan nyaman hidup di Indonesia, karena keadilan memang dijadikan acuan utama dalam strategi dan pola pembangunan, sesuatu yang masih menjadi harapan. Pilar kemanusiaan hanya bisa tegak dengan kuat, jika prinsip keadilan tidak dipermainkan dengan beraneka alasan dan hilah. Kegaduhan perjalanan sejarah modern Indonesia, terutama berakar pada sikap ketidakpedulian kita, khususnya para elite, terhadap masalah keadilan ini yang masih saja dibiarkan melayang di awan tinggi, belum dibawa turun ke bumi dengan sikap penuh kesungguhan'.

Bagi Buya, kemanusiaan itu satu. Oleh karena itu, ujarnya, pemuliaan harkat, martabat, dan kebebasan manusia ini harus diberikan kepada siapa pun. Tidak hanya kepada mereka yang berbeda agama atau mazhab (aliran), tetapi juga kepada mereka yang mengaku tidak beragama sekalipun (ateis) sejauh tidak melanggar hukum positif dan ketertiban umum. Kemanusiaan semacam itu hanyalah mungkin berdiri tegak apabila cuaca keadilan di Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda ia telah berpijak di bumi.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |