
DI depan acara International Conference on Infrastructure (ICI) yang diadakan di JCC Senayan bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menungkap banyaknya lembaga baru di lingkungan pemerintahan Republik Indonesia pada era Presiden Prabowo Subianto. Bahkan lembaga-lembaga baru masih akan muncul. Presiden Orabiwo Subianto akan membentuk Badan Penerimaan Negara sebagai lembaga yang baru pula.
Padahal sebelumnya sudah ada lembaga baru, antara lain Badan Gizi Nasional (BGN), BPI Danantara, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), Badan Penyelenggara Haji (BPH), dan Badan Penyelenggara jaminan Produk Halal (BPJPH).
Kemunculan banyak lembaga baru ini,menurut pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Agustinus Subarsono, akan menyebabkan terjadinya spesialisasi fungsi karena lembaga baru tersebut akan memiliki fungsi yang lebih spesifik yang sebelumnya dilakukan oleh lembaga lain yang memiliki multi fungsi, sehingga masalah yang muncul akan segera cepat terselesaikan.
"Lembaga baru tersebut kemungkinan besar dapat mendorong inovasi karena punya gagasan baru, didukung oleh sumber daya manusia baru yang lebih segar dan bisa menggunakan teknologi informasi kekinian,” kata Subarsono, Senin (23/6).
Di lain sisi, jelasnya, lembaga baru yang bermunculan tersebut akan mengakibatkan teradinya tumpang tindih fungsi satu lembaga dengan lembaga lainnya apabila tidak didesain secara serius dan kajian yang layak. Bahkan, ujarnya, lembaga baru dipastikan akan menyebabkan pembengkakan anggaran negara yang bisa jadi tidak sedikit untuk gaji pegawai dan penyediaan infrastruktur fisik dan teknologi.
“Dalam kondisi ekonomi saat ini, melahirkan badan atau lembaga baru di luar kementerian yang sudah ada pantas dipikirkan serius. Lembaga baru tersebut bisa malah melahirkan inefisiensi, yang selama ini diamanatkan oleh Presiden Prabowo,” ujarnya.
TANTANGAN UTAMA
Agustinus juga menyampaikan bahwa adanya tantangan utama yang akan dihadapi pemerintah dalam hal pengelolaan keuangan negara dengan munculnya berbagai lembaga baru ini adalah anggaran negara (APBN) tentu bertambah karena pemerintah perlu menyediakan dana untuk operasional lembaga baru, seperti gaji pegawai, gedung, peralatan, teknologi, dan biaya kegiatan.
“Lahirnya lembaga baru akan terjadi fragmentasi anggaran. Alokasi anggaran untuk masing-masing kementerian atau sektor bisa berkurang dengan adanya lembaga baru tersebut. Dari pendekatan ekonomi barangkali perlu analisis cost benefit-nya sebelum lembaga baru tersebut diluncurkan,” paparnya.
Ia kemudian mencontohkan, struktur kelembagaan baru seperti Badan Penerimaan Negara dirancang agar tidak menimbulkan beban birokrasi baru tetapi mempercepat reformasi fiskal. Namun sebagai lembaga negara yang otonom, BPN akan bertanggung kepada presiden dan ini berarti menambah tugas presiden. “Sebagai Badan Otorita akan bisa bergerak lebih leluasa dan mampu meningkatkan penerimaan negara ke depan,” pungkasnya.
Subarsono berharap bahwa proliferasi atau pembentukan kelembagaan baru sebaiknya dilakukan secara cermat, pertimbangan matang dan dukungan kajian akademis, bukan tergesa-gesa karena pemekaran kelembagaan berimplikasi ekonomi, politik dan sosial.
Implikasi ekonomi seperti penambahan anggaran negara. Bahkan dari implikasi politik, yakni terjadi pergeseran kekuasaan, kearah lebih sentralistik. “Sedangkan implikasi sosial, yakni terjadi mutasi pegawai dan perlu persiapan kompetensi pegawai sesuai dengan tupoksi lembaga baru tersebut, dan ini perlu waktu,” katanya. (E-2)