
MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini diambil imbas protes dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk Greenpeace, yang menyoroti aktivitas tambang di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Menurut Bahlil, dari beberapa Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di kawasan tersebut, hanya PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang saat ini aktif beroperasi.
Namun, untuk memastikan kebenaran berbagai informasi yang beredar, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menurunkan tim ke lokasi guna melakukan verifikasi langsung.
“Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, maka kami telah memutuskan, melalui Dirjen Minerba, untuk menghentikan sementara operasional PT Gag Nikel sampai verifikasi lapangan selesai dilakukan,” tegas Bahlil di Jakarta, Kamis (5/6).
Menteri ESDM kemudian menjelaskan selain PT Gag Nikel, tidak ada perusahaan lain yang tengah aktif melakukan kegiatan produksi di wilayah tersebut. Beberapa perusahaan tambang lain masih berada pada tahap eksplorasi, dan ada satu IUP yang sempat beroperasi namun sudah tidak lagi berproduksi sejak awal 2024.
PT Gag Nikel memulai operasinya pada tahun 2018 setelah mendapatkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), berdasarkan IUP yang diterbitkan pada 2017. Perusahaan ini awalnya merupakan usaha patungan antara Antam dan perusahaan tambang asal Australia, BHP. Namun, sejak BHP mengundurkan diri dari proyek pada 2008, Antam sepenuhnya mengambil alih pengelolaan tambang di Pulau Gag.
Bahlil menekankan pentingnya verifikasi langsung, mengingat beberapa pemberitaan menampilkan gambar aktivitas tambang yang diduga berasal dari kawasan wisata Pulau Panemo. Padahal, Pulau Panemo yang merupakan destinasi wisata ikonik di Raja Ampat terletak sekitar 30-40 kilometer dari lokasi tambang PT Gag Nikel.
Wilayah Raja Ampat yang luas, lanjutnya, bahkan sebagian pendekatannya sudah menyentuh Maluku Utara. Banyak hutan konservasi, banyak pulau untuk pariwisata, tapi juga ada kawasan yang memang memiliki potensi tambang.
"Maka, kami harus benar-benar melakukan cross-check agar tidak terjadi kesalahan persepsi,” jelasnya.
Dalam waktu dekat, Bahlil juga dijadwalkan melakukan kunjungan kerja ke Papua untuk melihat langsung kondisi di lapangan. Hasil dari verifikasi ini akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan lebih lanjut terkait masa depan kegiatan pertambangan di Raja Ampat.
Dalam keterangan resmi Greenpeace disebutkan, adanya dugaan eksploitasi nikel di ketiga pulau di sekitar Raja Ampat, yakni di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Aktivitas tambang tersebut dikatakan telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.
Sejumlah dokumentasi yang dihimpun Greenpeace menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya tercetak di uang pecahan Rp100.000.
"Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel, masyarakat dan bumi kita sudah membayar harga mahal," ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik dalam keterangannya, Selasa (3/6).
Dia menyebut industrialisasi nikel yang makin masif, seiring tren naiknya permintaan mobil listrik dinilai telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi.
"Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Iqbal. (P-4)