
LANGKAH Tiongkok yang memberlakukan kontrol ekspor besar-besaran terhadap mineral tanah jarang atau unsur langka mengejutkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Ia kemudian menuduh Beijing bersikap semakin bermusuhan.
Sebaliknya, pihak Tiongkok menilai kebijakan tersebut muncul akibat perluasan pembatasan oleh Washington terhadap perusahaan-perusahaan asal negeri itu. Menurut Beijing, kebijakan AS mempertajam ketegangan dan mendorong mereka memperketat penguasaan atas mineral penting yang dibutuhkan untuk produksi perangkat elektronik, kendaraan, dan semikonduktor.
Dalam perkembangan cepat akhir pekan lalu, Trump menyatakan akan menaikkan tarif terhadap Tiongkok hingga tiga digit sebagai respons atas kebijakan ekspor Beijing itu. Pemerintah Tiongkok menyatakan akan mengambil tindakan yang sesuai jika ancaman itu direalisasikan.
Langkah tersebut kembali mengguncang pasar global. Ini memicu kekhawatiran industri terhadap gangguan rantai pasok dan menghidupkan bayang-bayang perang tarif seperti yang pernah terjadi pada musim semi lalu.
Ketegangan terbaru juga dinilai dapat mengganggu kemajuan negosiasi perdagangan yang berlangsung selama berbulan-bulan. Hal itu pun menimbulkan pertanyaan mengenai nasib pertemuan antara Presiden Xi Jinping dan Trump yang dijadwalkan di Korea Selatan.
Meski Trump sempat menyiratkan kemungkinan pembatalan, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyampaikan kepada Fox News pada Senin (13/10) bahwa ia tetap memperkirakan pertemuan tersebut akan terlaksana. Kementerian Perdagangan Tiongkok, kemarin, menyatakan masih terbuka untuk berdialog, tetapi AS tidak bisa mengimbau perundingan sambil terus melontarkan ancaman.
Menurut pakar dan analis di Tiongkok, eskalasi ini sesungguhnya dapat dihindari jika pemerintahan Trump tidak menambah pembatasan pada akhir September. Pembatasan itu memperluas daftar entitas Tiongkok yang dikenai kontrol ekspor AS dari sekitar 3.000 menjadi ribuan lainnya.
Pakar hubungan internasional di Universitas Renmin dan penasihat pemerintah, Profesor Jin Canrong, mengatakan bahwa Beijing hanya menanggapi rangkaian manuver kecil Washington. "Setelah menyerang Tiongkok, AS kini berpura-pura tidak bersalah dan bahkan mencoba berperan sebagai korban," tulisnya di Weibo seperti dikutip CNN News, kemarin.
Hubungan AS-Tiongkok sempat menunjukkan tanda pelonggaran pada musim panas, terutama setelah perundingan perdagangan di Madrid pada September dan panggilan telepon lanjutan antara Xi dan Trump. Dalam percakapan tersebut, Xi dilaporkan memberikan tanggapan positif terhadap kemajuan pembicaraan, tetapi memperingatkan Trump agar tidak memberlakukan pembatasan perdagangan sepihak untuk merusak kemajuan yang dicapai kedua pihak.
Namun, hanya 10 hari setelah panggilan itu, Washington memperluas kontrol ekspornya dengan memasukkan anak perusahaan dari perusahaan-perusahaan Tiongkok dan entitas lain di bawah pembatasan yang sama. "Dari perspektif Tiongkok, ini sangat jahat," kata Wu Xinbo, dekan Institut Studi Internasional Universitas Fudan.
Dia menilai langkah Trump menunjukkan rencana buruk. "Jika setelah lebih dari setengah tahun berurusan dengan Tiongkok, AS masih belum menyadari bahwa mengambil tindakan seperti itu akan berdampak serius, saya akan mengatakan orang-orang di tim Trump benar-benar tidak kompeten," sebutnya.
Kementerian Perdagangan Tiongkok pada Minggu (12/10) juga menyoroti rencana Trump mengenakan biaya pada kapal-kapal buatan Tiongkok yang berlabuh di pelabuhan AS sebagai salah satu contohnya. Tindakan AS tersebut, kata kementerian, sangat merugikan kepentingan Tiongkok dan merusak atmosfer perundingan ekonomi dan perdagangan bilateral.
Beijing mendesak Washington mempertahankan kemajuan yang telah dicapai dengan susah payah dan akan merespons jika ancaman tarif baru dilaksanakan. Paul Triolo dari perusahaan konsultan Albright Stonebridge menilai eskalasi ini mengingatkan pada merosotnya hubungan bilateral pada Mei lalu.
"Kita seperti berada di tepi jurang lagi," katanya. "Namun, sekarang taruhannya bahkan lebih tinggi karena kedua belah pihak kini memahami konsekuensinya," sebutnya.
Setelah gencatan senjata perdagangan di Jenewa yang diikuti dengan pengurangan tarif secara signifikan, Trump membuat kejutan dengan melarang perusahaan global menggunakan cip AI milik Huawei, membatasi ekspor perangkat lunak perancang cip ke Tiongkok, dan mengancam mencabut visa pelajar asal negeri itu. Langkah-langkah itu sempat menggagalkan negosiasi selama berminggu-minggu sebelum perbincangan lanjutan menyelamatkan kesepakatan dagang yang rapuh.
Triolo menilai kebijakan unsur langka Tiongkok kali ini merupakan langkah logis dan proporsional terhadap tindakan AS, bukan upaya mencari leverage baru. Tiongkok menguasai hampir seluruh pasokan unsur langka dunia, terutama dalam pengolahan dan pemurnian.
Aturan baru Beijing tidak hanya memperluas jenis elemen yang terkena kontrol ekspor, tetapi juga membatasi transfer teknologi produksi dan penggunaan di luar negeri, termasuk bagi perusahaan asing yang memasok produk berbasis tanah jarang yang diproses dengan teknologi Tiongkok.
Aturan tersebut segera menimbulkan kekhawatiran di berbagai sektor seperti otomotif, pertahanan, dan teknologi, terutama setelah persyaratan izin baru diberlakukan sejak April.
Beberapa perusahaan global telah melaporkan kekurangan pasokan akibat pembatasan ini, termasuk industri semikonduktor dan kecerdasan buatan.
Merespons kekhawatiran tersebut, Kementerian Perdagangan Tiongkok menyatakan bahwa aturan itu bukanlah larangan ekspor total dan lisensi akan diberikan untuk aplikasi yang memenuhi persyaratan.
Para analis melihat kebijakan ini sebagai cerminan pembatasan ekspor teknologi oleh AS yang sudah berlangsung bertahun-tahun, termasuk aturan Foreign Direct Product Rule yang diberlakukan selama pemerintahan Biden.
Wu dari Universitas Fudan menilai bahwa Tiongkok kini mengambil langkah yang telah lama ditentang dan menegaskan waktunya telah tiba untuk menyelesaikan masalah ini.
Terkait peluang pertemuan antara Xi dan Trump, Wu menyatakan keputusan akhir berada di tangan Washington.
"AS harus mengambil tindakan konkret untuk memperbaiki hubungan. Seharusnya tidak sebaliknya, Tiongkok mengorbankan kepentingannya atau menoleransi tekanan AS hanya demi pertemuan," katanya.
Trump tampak mulai mengubah nadanya. Dalam unggahan di Truth Social pada Minggu (12/10), ia menyatakan bahwa AS ingin membantu Tiongkok, bukan merugikannya.
"Jangan khawatir tentang Tiongkok, semua akan baik-baik saja!," tulisnya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Akademisi Universitas Renmin, Wang Yiwei, mengatakan bahwa Tiongkok belajar dari pengalaman menghadapi Trump sejak masa jabatan pertamanya. Kini, menurutnya, Beijing sepenuhnya siap.
"Saat ini, saya pikir AS yang mulai cemas, bukan Tiongkok," katanya.
Dengan kendali kuat Tiongkok atas pasokan unsur langka, Wang menilai ketergantungan AS masih akan berlanjut dalam waktu dekat. "Pesan untuk warga Amerika adalah bersikaplah realistis, lebih baik bekerja sama dengan Tiongkok," pungkasnya. (I-2)