
ANGGOTA Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja menyebut aksi pembubaran retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, membahayakan kebhinekaan dan menodai Pancasila. Ia pun mengutuk keras aksi yang dilakukan sekelompok warga pada Jumat (27/6) itu.
"Peristiwa ini bukan sekadar insiden lokal. Ini alarm bahaya bagi kebhinekaan kita. Jika anak-anak kita tidak bisa beribadah dengan tenang di negeri ini maka kita semua sedang berjalan mundur sebagai bangsa. Ini menodai Pancasila kita, memecah belah bangsa, dan sangat tidak manusiawi," kata Abraham dikutip dari Antara, Selasa (1/7).
Aksi perusakan dan pengusiran pelajar tersebut sudah termasuk bentuk kekerasan yang tidak hanya sekedar bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
"Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi apalagi yang menjadi korban adalah anak-anak, pelajar-pelajar muda yang seharusnya dilindungi, bukan ditakut-takuti. Ini tindakan pelanggaran hukum," ujarnya.
Dia pun menilai rekaman video terkait pembubaran kegiatan tersebut dapat mencoreng wajah toleransi Indonesia di mata dunia. Untuk itu, dia meminta Kapolri dan Polda Jawa Barat segera bertindak tegas dan menangkap para pelaku yang terekam jelas dalam video. Ia menegaskan pendekatan damai dan mediasi tidak cukup untuk menyelesaikan kasus tersebut.
"Kalau negara tidak hadir dan pelaku tidak ditindak maka yang tumbuh adalah ketakutan dan kebencian. Aparat jangan hanya menengahi, tangkap! Hukum harus berlaku untuk semua. Tidak ada tempat bagi intoleransi di republik ini," ujarnya.
Evaluasi Nasional Kebebasan Beragama
Sebagai anggota Komisi I DPR RI yang membidangi isu-isu pertahanan dan keamanan nasional, dia juga mengingatkan bahwa konflik berbasis intoleransi agama adalah bom waktu yang dapat merusak stabilitas sosial-politik bangsa.
Oleh sebab itu, Abraham mendorong pemerintah pusat untuk segera menggelar evaluasi nasional terhadap kebebasan beragama dan perlindungan kelompok minoritas.
"Jangan tunggu bangsa ini terbakar karena kita membiarkan api kecil intoleransi terus menyala di banyak tempat. Kita ini negara hukum, bukan negara preman," tuturnya.
Terakhir, dia mengajak seluruh elemen bangsa untuk tidak diam melihat ketidakadilan, dan mendesak media serta masyarakat sipil untuk terus mengawal kasus ini sampai keadilan ditegakkan.
Sebelumnya, dugaan pembubaran retret pelajar Kristen terjadi di Kampung Tangkil RT 04/01, Desa Tangkil, Sukabumi, Jumat (27/6).
Rekaman aksi pembubaran retret tersebut ramai diperbincangkan di media sosial. Pembubaran itu dilatarbelakangi dugaan masyarakat bahwa rumah itu dijadikan tempat ibadah tanpa izin sehingga kemudian diprotes. (E-4)