
PERUSAKAN alat pemantau gempa dan tsunami kembali terjadi. Kasus terbaru perusakan terhadap peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami terjadi di Kecamatan Nabire, Kabupaten Nabire, Papua Tengah.
Perusakan tersebut tercatat terjadi sebanyak 3 kali, yakni pemotongan antenna modem pada pada 9 Februari 2025, pemotongan kabel antenna GPS pada 1 Maret 2025, pemotongan kabel panel surya pada 6 Maret 2025. Pada kejadian terakhir tersebut pelaku juga berupaya membongkar kayu penutup shelter peralatan InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System).
"Mengingat kondisi shelter yang mengkhawatirkan dan mengindikasikan adanya upaya pencurian aset berharga pada site InaTEWS tersebut, maka BMKG terpaksa mencabut seluruh peralatan, termasuk sensor, digitizer, dan peralatan komunikasi, untuk menghindari kerugian lebih besar. Sehingga operasional monitoring gempa dihentikan," kata Direktur Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, Jumat (7/3).
Kasus perusakan alat monitoring gempa dan tsunami sudah terjadi berulang kali dan cukup lama di wilayah itu. Dalam catatan BMKG, sejak 2015 setidaknya telah terjadi sebanyak 13 kali kasus pencurian dan perusakan terhadap peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami yang dikelola BMKG.
Daryono melanjutkan, wilayah Nabire secara tektonik merupakan daerah sangat rawan gempa karena berada di jalur patahan aktif Sesar Wapoga. Berdasarkan laporan Pusat Gempa Nasional (Pusgen, 2017), Sesar Wapoga di Nabire bukanlah sesar mikro, melainkan sesar regional yang dapat memicu gempa besar hingga mencapai magnitudo Mw7,9. "Menurut peta seismisitas/kegempaan, kawasan Nabire memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang sangat tinggi akibat aktivitas Sesar Wapoga ini," jelas dia.
BMKG mencatat bahwa wilayah Nabire pernah diguncang gempa dahsyat dan merusak beberapa kali, seperti gempa Nabire berkekuatan Mw7,0 pada 5 Februari 2004 menyebabkan 37 orang meninggal. Lalu gempa Nabire berkekuatan Mw6,7 pada 8 Februari 2004 menyebabkan 2 orang meninggal. Pada 26 November 2004, gempa Nabire berkekuatan Mw7,1 menyebabkan 32 orang meninggal.
"Di samping rawan gempa, Nabire juga rawan tsunami karena berhadapan dengan zona sumber gempa Sesar Yapen, Sesar Naik Cendrawasih dan Zona Megathrust Papua di laut," ungkap Daryono. Tsunami Nabire yang terjadi pada 8 Oktober 1900 yang menyebabkan 5 orang meninggal.
Daryono menegaskan, perusakan terhadap peralatan BMKG tentu akan sangat merugikan keselamatan masyarakat sendiri. Tanpa sensor gempa yang berfungsi maka kecepatan dan akurasi BMKG dalam memberikan informasi gempa dan peringatan dini tsunami di Nabire akan lebih lambat.
"Untuk itu, kami memohon dengan sangat kepada masyarakat untuk tidak melakukan perusakan dan pencurian peralatan BMKG. Jika belum bisa aktif terlibat dalam mitigasi dan pengurangan risiko bencana, setidaknya jangan merusak peralatan BMKG yang bertujuan untuk melindungi keselamatan masyarakat Nabire," tegas dia.
BMKG juga meminta pemerintah daerah untuk ikut berperan aktif dalam mengamankan peralatan BMKG yang telah dipasang di lokasi strategis demi kepentingan masyarakat Nabire. Daryono mengungkapkan, saat ini tidak mudah untuk segera mengganti peralatan yang hilang atau rusak. "Oleh karena itu, kami berharap pengertian dan perhatian dari semua pihak untuk menjaga keberlangsungan sistem peringatan dini bencana di Nabire khususnya, dan di seluruh wilayah Indonesia pada umumnya," pungkas dia. (M-1)