
KELOMPOK akademisi yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) meminta pembahasan revisi UU TNI untuk dihentikan.
Anggota CALS Herdiansyah Hamzah menilai revisi UU TNI harus dihentikan karena bertentangan dengan prinsip hukum dan transparansi publik. Ia menyoroti pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara diam-diam di Hotel Fairmont, Jakarta.
"Kami dari CALS, KIKA, PSHK Indonesia, dan SPK menyatakan sikap yakni meminta menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan sembunyi-sembunyi dan bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM," kata pria yang akrab disapa Castro itu ketika konferensi pers, Minggu (16/3).
Castro menjelaskan revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang dilakukan secara diam-diam antara Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR bersama dengan Pemerintah menimbulkan polemik.
"Menjadi sangat bermasalah ketika melihat alasan DPR dan pemerintah menggelar rapat pembahasan RUU TNI di hotel secara tertutup. Selain bertolak belakang dengan kebijakan negara mengenai efisiensi, juga terkait dengan pasal dan substansinya yang jauh dari upaya semangat menghapus dwifungsi militer," katanya.
Ia menjelaskan DPR dan Presiden melalui usulan revisi justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik, bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.
"Revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas/kekebalan hukum anggota TNI. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan," katanya.
Castro juga menilai revisi UU TNI tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional. Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).
"Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil," katanya.
Castro juga menyoroti revisi UU TNI ini justru akan semakin melemahkan profesionalisme militer. Ada potensi pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil, yang ditandai dengan memperpanjang masa pensiun, menambah persoalan penumpukan perwira non job dan Penempatan Ilegal Perwira Aktif di Jabatan Sipil.
Selain itu, memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif, mengancam supremasi sipil, menggerus profesionalisme dan independensi TNI. Tak hanya itu, revisi UU TNI akan membuka ruang ikut campur ke wilayah politik keamanan negara dan .menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang.
"Impunitas juga berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap situasi kebebasan akademik di Indonesia. Dampak impunitas juga menjadikan serangan yang sistematis terhadap insan akademik, melalui sweeping buku-buku kiri, pembubaran diskusi berkaitan isu Papua dan keamanan nasional, serta berbagai tindakan represi lainnya menjadikan situasi kebebasan akademik semakin memprihatinkan," katanya. (H-3)