Suasana sidang kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor.(Dok.Istimewa)
PENGADILAN Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus menggelar sidang a de charge atau sidang pemeriksaan saksi yang meringankan dalam perkara dugaan korupsi terkait pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Perkara ini menjerat tiga terdakwa dari PT Petro Energy, yakni Newin Nugroho (Direktur Utama), Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan), serta Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy).
Sidang yang digelar pada Senin, 27 Oktober 2025 tersebut menghadirkan sejumlah saksi dari pihak terdakwa. Terdakwa I, Newin Nugroho, menghadirkan mantan sekretarisnya, Dwi Herdian Krisnamurti.
Sementara itu, Terdakwa III, Jimmy Masrin, menghadirkan Andhika Pratama, President Director EP-TEC Solutions, serta Rene Indiarto Widjaja, Chairman Board of Trustees Habitat for Humanity Indonesia.
Adapun Ahli Hukum Keuangan Publik dari Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, S.H., M.H., dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Terdakwa II, Susy Mira Dewi Sugiarta, dan Terdakwa III, Jimmy Masrin.
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Ahli Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia, Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, menilai bahwa perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor LPEI sejatinya masih berada dalam ranah hukum keperdataan.
“Ini masih dalam ranah hukum keperdataan, jadi belum masuk ranah hukum publik. Artinya, perkara ini masih terbuka untuk diselesaikan secara perdata,” ujarnya di persidangan.
Terkait tuduhan adanya kerugian negara, Dr. Dian menjelaskan bahwa hingga kini belum terdapat bukti adanya kerugian negara yang nyata dan pasti. Menurutnya, selama kewajiban pembayaran kepada LPEI masih berjalan, unsur kerugian negara belum terpenuhi.
“Kerugian negara itu baru bisa dinilai kalau ada pengurangan pembayaran yang disengaja, misalnya pihak debitur kabur dari tanggung jawab. Kalau pembayaran masih berjalan, berarti belum ada kerugian bagi LPEI secara nyata dan pasti, apalagi bagi negara,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dr. Dian menegaskan bahwa tanggung jawab hukum seorang komisaris harus dilihat secara proporsional sesuai anggaran dasar dan fungsi jabatan. Ia mengingatkan agar tidak terjadi perluasan tanggung jawab kepada pihak yang tidak memiliki kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan operasional.
“Tanggung jawab komisaris itu sebatas sesuai AD/ART. Dalam hal pengambilan keputusan atau kebijakan operasional, itu ada di level eksekutif. Komisaris hanya dalam batas pengawasan,” tutupnya.
Keterangan ahli tersebut diperkuat oleh saksi Andhika Pratama, Presiden Direktur EP-TEC Solutions Indonesia, tempat Jimmy Masrin juga menjabat sebagai komisaris. Dalam persidangan, Andhika menyampaikan bahwa hubungan kerja antara dirinya dan Jimmy berlangsung profesional dan tidak pernah ada intervensi, semua berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Ia menegaskan tidak pernah ada praktik pinjam-meminjam dengan PT Caturkarsa Megatunggal, serta memastikan operasional EP-TEC berjalan secara normal dan mandiri.
“Kami diberi kepercayaan penuh oleh Pak Jimmy untuk menjalankan bisnis. Tidak ada intervensi apa pun dalam kebijakan operasional maupun pengelolaan keuangan. Beliau hanya memberi arahan atau masukan strategis, dan keputusan tetap dikembalikan kepada saya sebagai presiden direktur,” ujar Andhika di hadapan majelis hakim.
Sementara itu, saksi Rene Indiarto Widjaja, Chairman Board of Trustees Habitat for Humanity Indonesia (HFHI), memberikan keterangan mengenai kiprah sosial Jimmy Masrin di luar dunia bisnis.
Ia menuturkan bahwa terdakwa aktif berkontribusi dalam kegiatan sosial kemanusiaan melalui HFHI, terutama dalam program penyediaan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kesaksiannya menyoroti sisi kepedulian dan konsistensi sosial Jimmy Masrin di luar perannya sebagai pengusaha. (E-2)


















































