Adopsi AI yang Berhasil Dimulai dari Pemahanan Manusia yang Menggunakannya

4 hours ago 2
Adopsi AI yang Berhasil Dimulai dari Pemahanan Manusia yang Menggunakannya Forum “AI in Action” yang digelar di Thamrin Nine Ballroom Jakarta, oleh AiSensum, dan didukung oleh Surveysensum(MI/HO)

ASIA Tenggara sedang memasuki fase baru dalam transformasi digital. Dari industri kreatif hingga layanan kesehatan, perusahaan mulai menguji cara AI dapat diterapkan secara praktis—bukan hanya untuk otomatisasi, tapi untuk memperluas kemampuan manusia.

Laporan IDC 2025 menyebutkan, lebih dari 70% perusahaan di kawasan ini telah mengadopsi inisiatif AI, namun hanya 23% yang benar-benar membawa ke tahap penggunaan transformatif, alias menghasilkan dampak nyata. 

Namun, seperti yang diakui banyak pelaku industri, tantangan terbesar bukan pada teknologinya, melainkan pada manusia yang menggunakannya.

Hal itu menjadi benang merah dalam forum “AI in Action” yang digelar di Thamrin Nine Ballroom Jakarta, oleh AiSensum, dan didukung oleh Surveysensum, dengan berbagai perusahaan berbagi cerita transformasi teknologi mereka. 

Di acara hari ini, cerita-cerita yang muncul tidak berbicara tentang otomatisasi semata, tetapi tentang keberanian mencoba, membangun kepercayaan, dan menyeimbangkan antara intuisi dan data.

Di antara banyak cerita yang dibagikan, satu pola terlihat jelas: adopsi AI yang berhasil selalu dimulai dari pemahaman terhadap manusia yang menggunakannya.  

Di antara berbagai cerita yang dibagikan, satu hal menonjol: keberhasilan adopsi AI sering kali muncul di titik pertemuan antara kreativitas dan data. Dalam dunia pemasaran, misalnya, AI mulai dipakai untuk menganalisis pola konten para Key Opinion Leader (KOL), mulai dari gaya bicara, tempo video, hingga struktur narasi yang paling memikat audiens.

Salah satu perusahaan yang memanfaatkan pendekatan ini adalah CPPetindo, yang menggunakan analisis video berbasis AI, Advize, untuk memahami apa yang membuat konten influencer benar-benar menarik di mata penonton. 

Dari proses itu, mereka menemukan bahwa AI bukan menggantikan kreativitas, melainkan memperkaya sudut pandang kreatif dengan data yang sebelumnya tidak terlihat. 

“Kami jadi lebih sadar kapan harus mengandalkan intuisi, dan kapan harus mendengarkan data. Saat kami mendengarkan data, jumlah penonton video kami naik 27%” ujar Wilda Novayana, Brand & Product Development Manager CPPetindo. 

Sementara dari ranah berbeda, dari dunia kesehatan, cerita datang dari Siloam Hospitals, jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia dengan 41 cabang di seluruh negeri. Tantangan mereka sederhana namun besar: bagaimana memastikan setiap interaksi pasien mengikuti standar operasional yang ketat. 

Sebelumnya, pengawasan kualitas hanya mengandalkan metode sampling, sehingga banyak percakapan yang luput dari evaluasi. Kini, berkat sistem berbasis AI, setiap interaksi di front office dapat dianalisis secara real-time, menilai kepatuhan SOP sekaligus menandai area yang perlu diperbaiki.

Dampaknya nyata. Tingkat kepatuhan mencapai 98%, dengan proyeksi peningkatan Net Promoter Score hingga 10%. Namun, bagi tim Siloam, teknologi ini bukan sekadar alat pengawasan, melainkan sarana pemberdayaan. 

“AI bukan tentang mengawasi,” ujar  Anthony Hartono, Operations Services & Supply Chain Management Director dari Siloam Hospitals Group. “AI memberi tim kami wawasan agar bisa bekerja dengan lebih baik setiap hari.”

Sementara itu, di Alpha Aviation Group (AAG), tempat pelatihan para pilot di Filipina, Indonesia, dan India, AI hadir dalam bentuk yang lebih sederhana namun berdampak besar: asisten digital yang membantu memangkas proses administratif agar para instruktur dan staf bisa fokus melatih calon pilot. 

Mereka menyebutnya Chief Smile Officer, karena benar-benar membuat pekerjaan terasa lebih ringan. 

Setiap karyawan menghemat sekitar 15 jam kerja per bulan. Namun bagi tim AAG, manfaat terbesarnya bukan sekadar efisiensi, melainkan ruang untuk kembali pada esensi pekerjaan mereka: melatih, membimbing, dan memastikan keselamatan penerbangan. 

“Ketika orang berhenti melakukan pekerjaan repetitif, mereka mulai mendapatkan ruang untuk memberikan dampak lebih,” ujar tim dari AAG. “AI tidak menggantikan manusia; AI membantu kami menjadi lebih manusiawi.”

Dari tiga contoh ini, satu pola mulai terlihat: keberhasilan adopsi AI tidak datang dari kompleksitas teknologinya, melainkan dari cara organisasi menggabungkan logika mesin dengan nilai-nilai manusia, rasa ingin tahu, empati, dan juga disiplin.

Dalam forum yang sama, Febrina dan Ray dari AiSensum memperkenalkan konsep “90-Day AI Playbook”, panduan sederhana agar bisnis bisa beralih dari ide ke implementasi tanpa kehilangan arah. 

Menurut Ray, Chief AI Office, AISensum, dampak AI bukan ditentukan oleh ukuran perusahaan, tapi oleh kemampuan belajar dan beradaptasi. 

“Keberhasilan AI bukan soal skala, tapi fokus dan kecepatan belajar,” ujarnya.

Menutup sesi, Vika Paramita, SEA Commerecial Director dari SurveySensum, menegaskan kembali makna di balik seluruh diskusi hari itu. 

“AI hanyalah alat. Yang membuatnya hidup adalah manusia, rasa ingin tahu, empati, dan keberanian untuk terus belajar,” ujarnya. 

“Transformasi AI tidak dimulai dari teknologi. Namun dimulai dari para pemimpin yang percaya pada kemajuan—dan berani melangkah untuk mencapainya,” pungkasnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |