
ANGGOTA Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Adian Napitupulu, mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang pembengkakan biaya proyek kereta cepat Whoosh yang dikerjakan oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Proyek tersebut dibangun pada masa kepemimpinan Joko Widodo.
Permintaan itu disampaikan Adian sebagai respons terhadap pernyataan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan APBN untuk membayar utang proyek tersebut.
“Kalau menurut saya, memang seharusnya dikaji ulang bagaimana bisa terjadi pembengkakan biaya untuk kereta cepat itu,” kata Adian dalam keterangan yang diterima, Rabu (22/10).
Politikus PDI Perjuangan itu menekankan, proyek serupa juga dibangun di berbagai negara lain dengan teknologi berbeda, baik dari Tiongkok maupun Jepang. Karena itu, ia mendorong adanya perbandingan biaya yang transparan.
“Dibandingkan saja harganya, lalu diperiksa kenapa kita bisa lebih mahal. Bagaimana perjanjian awalnya, siapa yang melakukan negosiasi, dan sebagainya,” jelasnya.
Legislator Dapil Jawa Barat V itu menilai, sikap Menteri Keuangan menolak pembayaran utang proyek menggunakan APBN tentu memiliki alasan tersendiri.
Namun demikian, Adian menilai hal ini tidak menghapus kewajiban pemerintah untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap manajemen proyek tersebut.
Terkait wacana perpanjangan rute Kereta Cepat hingga Jakarta-Surabaya, Adian menilai ide tersebut baik, namun harus diimbangi dengan perencanaan dan pelaksanaan yang matang.
“Gagasan kereta cepat itu bagus. Problemnya, yang bagus tidak cuma di gagasan saja. Tapi bagaimana cara merealisasikannya juga harus bagus,” tegasnya.
Lebih lanjut, Adian menyoroti bahwa hampir setiap proyek besar di Indonesia kerap mengalami pembengkakan biaya. Ia pun menegaskan bahwa jika proyek ini pada akhirnya menggunakan APBN, maka pemerintah harus menjelaskan evaluasi yang telah dilakukan.
“Kalau sampai menggunakan APBN, berarti ini kan mengkhianati janji awal. Maka yang harus dipikirkan, siapa yang melakukan negosiasi, berapa harga yang patut, dan apakah perjanjian itu dibuat dengan niat baik,” ujarnya.
Ia menambahkan, niat baik dapat dilihat dari kepatutan harga dalam kontrak. Jika ditemukan indikasi ketidakpatutan, maka pemerintah bisa meninjau ulang atau menegosiasikan kembali perjanjian tersebut.
“Kalau bisa dibuktikan perjanjian itu tidak dilakukan berdasarkan niat baik, ya bisa diminta dibatalkan atau dinegosiasikan ulang. Tapi problemnya adalah kok biayanya bisa gede banget,” ujarnya. (P-4)