8 Catatan Celios tentang Krisis Ketenagakerjaan di Indonesia

6 hours ago 5
8 Catatan Celios tentang Krisis Ketenagakerjaan di Indonesia Catatan Celios tentang Krisis Ketenagakerjaan(Antara)

SEKTOR ketenagakerjaan di Indonesia masih dihantui oleh berbagai masalah serius yang belum terselesaikan. Center of Economic and Law Studies (Celios) melalui Direktur Eksekutif Bhima Yudhistira memaparkan sejumlah isu krusial yang perlu segera diatasi.

Berikut ini beberapa catatan penting yang disampaikan:

1. Upah Riil Tenaga Kerja yang Terus Menurun

Tingkat upah riil di Indonesia mengalami penurunan tajam dan pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan era sebelum pandemi Covid-19.

"Penyebab utama karena formulasi upah dalam UU Cipta Kerja terlalu rendah dibandingkan kenaikan pengeluaran yang ditanggung. Artinya, buruh harus bertahan hidup dengan berhemat, meminjam uang atau menggadaikan asetnya seperti rumah, kendaraan bermotor, dan lainnya. Upah riil yang terlalu rendah juga sebabkan pertumbuhan ekonomi melambat," kata Bhima melalui keterangannya, Selasa (29/4).

2. Diskriminasi Usia pada Pelamar Kerja

Diskriminasi usia di lowongan kerja juga menjadi persoalan serius, membatasi peluang korban PHK untuk kembali masuk ke sektor formal.

"Harapannya revisi UU Ketenagakerjaan dapat mengakomodir pasal spesifik soal anti-diskriminasi usia pelamar kerja," terang Bhima.

Ia menilai regulasi di Indonesia masih membiarkan diskriminasi ini terjadi, berbeda dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand dan Vietnam yang sudah menerapkan peraturan anti-diskriminasi usia.

3. PHK Masif dan Penggantian Pekerja Tetap

Banyak perusahaan mengganti pekerja tetap dengan sistem magang, outsourcing, atau kontrak, dengan alasan efisiensi biaya.

"Situasi ini juga mengonfirmasi bahwa perekonomian sedang memburuk sehingga perusahaan terus menurunkan jumlah pekerja tetapnya," kata Bhima.

Bhima mengungkapkan bahwa praktik ini sebenarnya bertujuan menghindari tanggung jawab terhadap hak-hak pekerja tetap.

4. Pesangon dan Sisa Gaji yang Tidak Dibayarkan

Masalah lain yang mencuat adalah banyak perusahaan tidak membayarkan pesangon dan sisa gaji kepada karyawan yang terkena PHK.

Bhima menekankan pentingnya peran Satgas PHK untuk melakukan pendataan akurat terhadap para korban PHK di sektor formal maupun informal, yang nantinya dapat menjadi dasar pemenuhan hak mereka.

5. Ledakan Pekerja Sektor Informal dan Gig Economy

Keterbatasan lapangan kerja formal mendorong banyak tenaga kerja beralih ke sektor informal, seperti ojek online dan kurir.

Sekitar 58% pekerjaan di Indonesia kini berada di sektor informal, yang memperbesar risiko kerentanan kerja, ketiadaan jenjang karier, serta jam kerja yang berlebihan.

6. Persaingan Tenaga Kerja yang Semakin Ketat

Persaingan di pasar tenaga kerja kian sengit, tetapi belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasinya. Bhima mengkritik keberadaan Danantara yang dinilai belum efektif.

"Belum ada paket kebijakan yang dikeluarkan untuk meredam gejolak PHK. Sementara Satgas PHK tidak bersifat preventif," jelas Bhima.

7. Tingginya Pengangguran Usia Muda

Pengangguran di kalangan usia muda (15–24 tahun) di Indonesia mencapai 17,3%, menjadikannya yang tertinggi di ASEAN.

Sementara itu, angkatan kerja baru bertambah 4,4 juta orang sepanjang tahun 2024, memperparah kompetisi dengan korban PHK.

8. Risiko Tambahan PHK Akibat Perang Dagang

Efek perang dagang antara Amerika Serikat dan negara lain juga diprediksi menambah jumlah PHK di sektor padat karya.

"Efek perang dagang AS menciptakan risiko bertambahnya jumlah PHK di sektor padat karya. Hasil modelling Celios menghitung penurunan output ekonomi karena tarif resiprokal hingga Rp164 triliun, sementara lapangan kerja turun 1,2 juta orang tahun 2025," pungkas Bhima. (Z-10)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |