Paparan hasil penelitian tentang penipuan, tingkat korban, serta persepsi masyarakat terhadap tanggung jawab pencegahan penipuan digital.(MI/Ihfa Firdausya)
PENIPUAN digital menjadi ancaman sistemik bagi ekonomi digital Indonesia. Hal itu mengikis kepercayaan konsumen, mengganggu kesejahteraan masyarakat, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Laporan ‘State of Scams in Indonesia 2025’ menemukan 2 dari 3 (66%) orang dewasa di Indonesia mengalami penipuan dalam setahun terakhir. Hal itu setara dengan 55 paparan per orang per tahun.
Laporan tersebut diluncurkan oleh Global Anti Scam Alliance (GASA) bekerja sama dengan Mastercard dan Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH), Jumat (31/10). Penelitian dilakukan melalui survei daring terhadap 1.000 responden berusia 18 tahun ke atas di seluruh Indonesia, antara 26 Februari hingga 14 Maret 2025. Studi tersebut meneliti paparan terhadap penipuan, tingkat korban, serta persepsi masyarakat terhadap tanggung jawab pencegahan penipuan digital.
Ketua GASA Indonesia Chapter dan Chief Legal & Regulatory Officer Indosat Ooredoo Hutchison Reski Damayanti menyampaikan, sebanyak 35% responden menjadi korban penipuan. Sebanyak 14% di antaranya mengalami kerugian finansial.
"Total kerugian mencapai Rp49 triliun (setara US$3,3 miliar) atau rata-rata Rp1,7 juta per orang dalam 12 bulan terakhir," kata Reski dalam acara peluncuran studi di Google Office, Pacific Century Place, Jakarta Selatan, Jumat (31/10).
Platform yang paling sering digunakan pelaku adalah pesan langsung, seperti aplikasi pesan instan dan SMS. Sebanyak34% responden berpendapat bahwa lembaga publik, terutama pemerintah, bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari penipuan digital. Reski mengatakan penipuan digital telah merugikan masyarakat di seluruh Indonesis. Ia mengikis kepercayaan, menguras keuangan, dan mengancam keamanan konsumen sehari-hari.
"Untuk melindungi publik dan memulihkan kepercayaan, Indonesia perlu memperkuat sistem pencegahan penipuan dengan teknologi canggih seperti AI, didukung kemitraan kuat dan regulasi yang jelas," ujarnya.
GASA APAC Director Brian D. Hanley menegaskan, setiap kasus penipuan di Indonesia memiliki wajah manusia di baliknya. Orangtua yang kehilangan tabungan, mahasiswa yang takut melaporkan kejahatan, atau pelaku UMKM yang tidak bisa bangkit kembali.
"Penipuan tidak hanya mengambil uang, tetapi juga kepercayaan antarmanusia. Karena itu, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil harus bersatu untuk membangun kembali kepercayaan digital bersama," ujarnya.
Sementara itu, Government Affairs and Public Policy Director Google Indonesia Putri Alam, mengatakan Google berkomitmen untuk membangun ekosistem internet yang lebih aman. Pendekatannya berfokus pada penerapan fitur keamanan berbasis AI yang tertanam langsung di produk utama kami yang didesain dengan prinsip private by default dan secure by design.
"Contohnya, AI pada perangkat kami memungkinkan deteksi penipuan secara real-time di Google Messages dan memperkuat fitur Safe Browsing di Chrome untuk melindungi pengguna dari situs phishing," ujarnya.
Rekomendasi dari Laporan
Laporan ini merumuskan 10 rekomendasi utama untuk mengatasi ancaman penipuan, yang terbagi dalam tiga area tindakan:
1. Memberdayakan konsumen melalui edukasi berkelanjutan, layanan bantuan nasional, dan dukungan terpadu bagi korban penipuan.
2. Mewujudkan internet yang lebih aman dengan pemblokiran penipuan di tingkat jaringan serta peningkatan kemampuan penelusuran transaksi penipuan di berbagai platform dan sistem pembayaran.
3. Memperkuat kerja sama lintas sektor melalui pembentukan jaringan pusat anti-penipuan, kejelasan tanggung jawab penyedia layanan, langkah pencegahan yang lebih kuat, serta kolaborasi global dalam investigasi dan penegakan hukum.
Rekomendasi ini akan menjadi panduan bagi misi GASA Indonesia Chapter dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045, melalui upaya membangun kepercayaan digital dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang inklusif.(M-2)


















































