
DIREKTUR Penyakit Menular Kemenkes RI Ina Agustina Isturini mengatakan, insiden kasus demam berdarah dengue (DBD) telah mencapai 93% kota-kota di Indonesia. Artinya, kasus DBD terjadi di hampir seluruh wilayah.
Ina mengatakan, hingga pekan ke-5 2024, jumlah kumulatif kasus DBD tercatat hampir mencapai 250.000 kasus dengan insident rate mencapai 88 per 100.000 penduduk dan jumlah kematian sebanyak 1.418 orang. Kasus-kasus ini tersebar di 488 kabupaten/kota di 36 provinsi.
Mengawali 2025, kasus DBD menunjukkan sedikit penurunan dengan jumlah kasus mencapai 10.752 hingga 16 Februari 2025. Namun, Ina menekankan bahwa kewaspadaan harus tetap tinggi. Menurutnya, tren DBD selalu mengalami peningkatan pada akhir tahun dan biasanya mencapai puncaknya pada bulan Januari, Februari, hingga Maret.
Selain DBD, Ina juga mengungkapkan perkembangan kasus Chikungunya yang mirip dengan DBD. Keduanya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Meskipun Chikungunya tidak menyebabkan kematian, akan tetapi penyakit ini bisa mempengaruhi kualitas hidup seseorang akibat nyeri sendi yang berkepanjangan.
"Chikungunya itu menyebabkan efek kualitas penjagaan karena menyebabkan nyeri sendi, jadi cedera atau sakitnya itu cukup lama, bisa beberapa bulan," ungkap Ina.
Kementerian Kesehatan juga telah mengeluarkan surat edaran terkait kewaspadaan terhadap peningkatan kasus DBD dan Chikungunya. Isi surat ini menyarankan agar seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia lebih waspada terhadap penyakit ini.
"Kami memetakan kasus-kasus ini meningkatnya kenapa, kami memetakan juga angka kematian yang banyak terjadi akibat keterlambatan diagnosis dan pengobatan," katanya.
Pentingnya kewaspadaan terhadap kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia juga menjadi hal penting. Selain itu, pasien yang datang dengan gejala demam tinggi perlu segera diperiksa dan dipantau dengan ketat.
Dalam upaya pencegahan, Ina mendorong masyarakat untuk menjaga kebersihan dan pola hidup sehat. Di sisi lain, Kemenkes juga sedang menguji teknologi terbaru dalam pengendalian nyamuk di beberapa kota yang diharapkan bisa diperluas ke daerah lainnya pada tahun mendatang.
Ina juga menyebutkan bahwa vaksin untuk DBD telah mendapatkan izin edar dari BPOM, meskipun masih menunggu rekomendasi dari Komisi Imunisasi Nasional. "Mudah-mudahan ini bisa nanti menjadi program," katanya.
Melalui langkah-langkah kewaspadaan ini, Kemenkes berharap dapat mencapai target Indonesia Zero Death pada 2030. Diharapkan kasus-kasus DBD dan Chikungunya dapat diminimalisir sehingga Indonesia dapat bebas dari penyakit ini di masa depan.
Tanda Gejala DBD dan Chikungunya
Keterlambatan penangan menjadi kunci angka kematian tinggi pada dua kasus penyakit ini. Kepala Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis KSM dan Dokter Spesialis Anak Anggraini Alam mengatakan, meskipun seseorang tidak merasakan gejala demam atau keluhan lainnya, virus DBD tetap ada di dalam tubuh yang terinfeksi dan dapat menular ke orang lain.
Secara umum, virus ini memiliki 4 serotipe yang berbeda yang masing-masing dapat memberikan gejala dan tingkat keparahan yang berbeda pula. Salah satu serotipe yaitu serotipe sulit terdeteksi dalam tes standar. Terkadang, hal ini dapat terlewat meskipun hasil tes menunjukkan negatif untuk DBD.
Anggraini menjelaskan bahwa virus dengue dapat menginfeksi tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Virus ini berkembang dalam tubuh nyamuk tanpa menyebabkan sakit pada nyamuk. Namun, ketika nyamuk menggigit manusia, virus dapat ditularkan. Masa inkubasi virus ini berkisar antara 4 hingga 7 hari sebelum gejala demam muncul.
Selain DBD, chikungunya dengan gejala utama berupa demam dan nyeri sendi juga menjadi perhatian. Walaupun kedua penyakit ini disebabkan oleh jenis nyamuk yang sama, gejala dan cara penanganannya berbeda.
Baik DBD dan chikungunya, Anggraini menekankan pentingnya mengenali gejala sejak dini. DBD bisa berkembang menjadi kondisi yang lebih serius atau disebut dengan severe dengue. Bahanya, kondisi ini berisiko mengarah pada perdarahan hebat hingga kerusakan organ.
Dalam situasi ini, tingkat kematian bisa mencapai 50% jika tidak segera ditangani. Oleh karena itu, pengenalan gejala demam sejak awal sangat krusial. "Kita perlu mengenali demam sejak awal fase demam dan melakukan pemantauan dan lain-lain, ini harus setiap hari," kata Anggraini.
Untuk diagnosis DBD sendiri , pemeriksaan darah secara rutin sangat diperlukan, terutama pada pasien yang mengalami demam tinggi. Anggraini mengingatkan untuk melakukan pemeriksaan darah di awal demam. “Karena pleositosis akan lebih cepat rendah di bawah 3.000 bahkan bisa di bawah 2.000,” jelasnya.
DBD biasanya berkembang dalam 3 fase yaitu fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Pada fase kritis yakni hari ke-4 hingga ke-5, pasien berisiko mengalami masalah krusial jika tidak segera diatasi sehingga dapat berakibat fatal. Karena itu, pemantauan ketat terhadap kondisi pasien di fase kritis sangat diperlukan.
Masa setelah DBD tampak sembuh pun perlu diperhatikan. Selain itu, dalam fase pemulihan setelah DBD atau yang biasa disebut konvalesen, tubuh pasien dapat mengalami kelebihan cairan yang perlu diwaspadai.
Mengingat betapa cepatnya perkembangan kondisi yang bisa mengarah pada komplikasi parah, pengenalan dini dan penanganan yang tepat akan sangat berpengaruh pada tingkat kesembuhan pasien.
Penanganan DBD yang cepat dan tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi yang lebih parah. Oleh karena itu, Anggraini menyarankan untuk tidak meremehkan kondisi demam, melakukan pemantauan, dan segera rujuk apabila tidak bisa melakukan tata laksananya.
Membedakan DBD dan Chikunguya
Anggraini Alam menjelaskan membedakan DBD dan Chikungiya bisa karena pendarahan atau ruam.
"DBD seperti flu like illness juga bisa hingga nyeri-nyeri. Cikungunya juga bisa berdarah. Sampai saat ini, kalau kita bicara berdarah lebih banyak pada DBD, sedangkan kalau cikungunya lebih banyak itu ruam. Namun, untuk betul-betul membedakannya, secara pasti, pada DBD ada thrombocytopenia, hematokrit leukopenia artinya bedakan dengan pemisah laboratorium yang sederhana," paparnya.
Namun yang berat jika DBD berpotensial fatal dengan perdarahan. Kalau cikungunya membuat seseorang kualitas hidup menjadi turun, karena ada nyeri sendi atau malah kesulitan berjalan.
"Kalau kita bicara DBD dan cikungunya maka sama-sama tidak ada antivirus obatnya. Namun hanya untuk mengurangi nyeri jadi, pada DBD pakai paracetamol, pada cikungunya boleh ibuprofen Oleh karena itu, kita buat, kita semua harus melek DBD. Deteksi DBD hati-hati kalau ada warning sign, cepat ke tempat yang bisa merawat. Kalau berisiko tinggi mengenai high risk DBD harus juga dirawat," imbaunya. (Iam/H-2)