
DEPRESI bukan hanya masalah emosional, tetapi dapat menyebabkan kerusakan serius pada struktur dan fungsi otak jika tidak segera ditangani. Gangguan mental ini dapat menimbulkan perubahan biologis yang signifikan, termasuk penyusutan volume otak, gangguan koneksi saraf, serta penurunan kemampuan kognitif.
Sebagaimana dijelaskan dari laman Alodokter, depresi yang berlangsung lama dapat mengurangi kemampuan berpikir, mengingat, serta membuat pasien lebih rentan terhadap penyakit otak degeneratif di kemudian hari.
Dampak paling mencolok dari depresi terhadap otak mencakup penyusutan pada hippocampus, penurunan volume di area prefrontal cortex, serta gangguan pada sirkuit dopamin dan serotonin. Hippocampus memiliki peranan penting dalam menyimpan dan mengelola memori. Ketika bagian ini mengalami penyusutan, para penderita akan mengalami masalah dalam ingatan dan kesulitan dalam mengatur emosi.
Selain itu, penurunan fungsi prefrontal cortex juga akan membuat pasien kesulitan dalam mengambil keputusan, mengontrol impuls, serta merencanakan hal-hal dengan rasional.
Secara biologis, depresi menyebabkan peningkatan kadar hormon stres, kortisol, dalam tubuh. Apabila kadar kortisol tinggi berlangsung lama, jaringan saraf otak akan terganggu dan proses regenerasi sel-sel saraf pun terhambat.
Kortisol juga mengurangi jumlah koneksi sinaps di otak, sehingga komunikasi antarbagian otak menjadi kurang efektif. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat menimbulkan gangguan neurologis yang lebih serius, seperti demensia dan Alzheimer.
Depresi bisa menyerang siapa saja, mulai dari remaja hingga orang tua. Faktor-faktornya beragam, termasuk tekanan kehidupan, pengalaman traumatik, kehilangan orang tercinta, gangguan hormonal, faktor genetik, hingga penyakit kronis yang belum tertangani.
Selain itu, pola hidup yang tidak sehat seperti kurang tidur, konsumsi alkohol, atau penyalahgunaan obat-obatan juga memperburuk kondisi otak yang mengalami depresi. Penelitian dari National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, seperti serotonin dan dopamin, memainkan peran penting dalam memicu gejala depresi dan merusak sistem saraf otak dalam jangka panjang.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sekitar 6,1% penduduk Indonesia mengalami depresi, dan hampir 20% masyarakat mengalami gangguan mental emosional, termasuk kecemasan serta stres berat. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2018.
Namun, penting untuk memahami bahwa angka 6,1% ini memiliki konteks yang berbeda dalam setiap survei. Dalam Riskesdas 2018, 6,1% mencakup prevalensi gangguan mental emosional secara umum, yang mencakup berbagai gejala seperti kecemasan dan depresi tanpa membedakan spesifik jenis gangguannya.
Sementara dalam SKI 2023, angka yang sama secara khusus merujuk pada prevalensi depresi, terpisah dari gangguan mental lainnya. Bahkan, SKI 2023 mengungkapkan bahwa 61% remaja berusia 15–24 tahun mengalami depresi, dan dalam satu bulan terakhir sempat mempertimbangkan untuk mengakhiri hidup.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental di Indonesia tidak hanya semakin rumit, tetapi juga perlu ditinjau secara lebih mendalam agar upaya pencegahan dan penanganannya lebih efisien. Pengobatan depresi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya mengandalkan penggunaan obat-obatan, tetapi juga melalui terapi psikologis seperti cognitive behavioral therapy (CBT), dukungan sosial, serta perubahan pola hidup.
Menurut Alodokter, rutin berolahraga, memperoleh kualitas tidur yang baik, menjaga pola makan yang seimbang, serta menghindari stres berlebihan sangat membantu dalam memulihkan keseimbangan kimia otak dan mempercepat pemulihan fungsi otak yang terpengaruh akibat depresi.
Masyarakat diharapkan lebih sensitif terhadap tanda-tanda awal depresi, seperti kelelahan yang berkepanjangan, merasa tidak berharga, kehilangan minat pada kegiatan yang biasanya disukai, serta mengalami gangguan dalam tidur dan nafsu makan.
Jika tidak ditangani, depresi dapat berkembang menjadi masalah mental yang lebih serius dan memiliki konsekuensi fatal, baik bagi kesehatan otak maupun kualitas hidup secara keseluruhan. Oleh karena itu, sebaiknya segera berkonsultasi dengan tenaga medis profesional untuk mencegah kerusakan otak yang disebabkan oleh depresi sejak dini. (alodokter/Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023/Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018/National Institute of Mental Health (NIMH)/Z-2)