Wacana Evakuasi Warga Gaza, Pemerintah Disebut Amnesia

2 days ago 11
Wacana Evakuasi Warga Gaza, Pemerintah Disebut Amnesia Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ratih Herningtyas.(Dok UMY)

USUL Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi seribu warga Gaza ke Indonesia telah memicu berbagai reaksi. Dalam kunjungan ke beberapa negara Timur Tengah, Prabowo menyatakan bahwa evakuasi ini akan dilakukan dengan persetujuan dari pihak-pihak terkait dan bertujuan untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban konflik di Gaza, terutama anak-anak yatim piatu dan mereka yang terluka.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ratih Herningtyas mengkritik wacana evakuasi ini. Menurutnya, tindakan pemerintah ini seperti ‘amnesia’ terhadap esensi dari konflik kedua belah pihak.

"Yang membuat konflik itu terjadi, yakni agresi militer oleh suatu negara (Israel) ke negara lain yang punya hak berdaulat (Palestina). Kalau ada keinginan oleh seorang pemimpin untuk mengevakuasi korban, berarti pemimpin tersebut tidak memahami esensi dari konflik,” kata Ratih dalam siaran pers, Selasa (15/4).

Langkah dari wacana kebijakan ini berpotensi mempercepat tujuan Israel dalam menguasai wilayah Palestina. Ratih menjelaskan bahwa konflik di Gaza berkaitan erat dengan masalah kedaulatan, dan evakuasi warga dapat mengakibatkan hilangnya populasi di wilayah yang sudah terjajah.

Ia juga menegaskan pentingnya mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari rencana ini. Jika seribu warga Gaza dievakuasi, akan ada risiko bahwa mereka tidak dapat kembali ke tanah air mereka ketika situasi telah membaik.

Kaitan antara wacana evakuasi dengan kebijakan tarif yang diluncurkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada berbagai negara mitranya termasuk Indonesia, menurut Ratih juga sangatlah kuat. Ini tidak lepas dari pemberlakuan tarif perdagangan ke Indonesia oleh AS sebesar 32%.

Maka dari itu, Presiden Prabowo dianggap ingin ‘mengambil hati’ Trump yang juga memiliki niat yang sama, yakni merelokasi warga Gaza ke beberapa negara.

“Di satu sisi, ini jelas bertolak belakang dengan konstitusi kita, kita seakan membantu proses ethnic cleansing itu benar-benar terjadi," kata dia.

Momentum ini bisa dijadikan oleh AS maupun Israel sebagai contoh kasus yang kemudian dipromosikan ke negara lain. “Ini loh, Indonesia aja mau loh," imbuhnya.

"Jangan sampai Indonesia menjadi contoh bagi negara lain untuk ditekan/dipromosikan untuk melakukan hal yang sama,” kata Ratih.

Wacana Presiden Prabowo ini seakan memberikan sinyal bahwa ini adalah bentuk ‘kompensasi’ (evakuasi warga Gaza) yang dapat Ia berikan agar tarif yang diberlakukan untuk Indonesia dapat segera diturunkan. 

Ratih menduga bahwa ini sebagai upaya untuk mengambil hati Trump supaya kebijakan tarif dari Trump ke Indonesia bisa lebih smooth atau menguntungkan Indonesia. Sehari setelah itu, ternyata terbukti penundaan pengenaan tarif sampai 90 hari, termasuk Indonesia yang tarifnya dikembalikan ke 10%, tidak lagi 32%. 

“Ini merupakan respons yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, imbas dari pengenaan tarif tinggi oleh AS. Dan ini dianggap membantu proses negosiasi agar tarif dapat dikembalikan ke 10%,” ungkapnya.

Pakar politik luar negeri AS tersebut juga menganggap bahwa Indonesia seakan memvalidasi dan mencerminkan apa yang dikatakan Trump itu sebagai 'sebagian negara ingin mencium bokong saya'.

“Gak masuk akal dengan situasi politik kita yang selama ini selalu berada di paling depan untuk menolak penjajahan Israel di Palestina,” ucapnya.

Ratih menganggap bahwa tindakan oleh Trump ini, seperti tindakan testing the water, ingin menguji siapa yang sebenarnya lawan dan siapa yang sebenarnya kawan yang masih dapat dikontrol olehnya. 

Ratih menyarankan bahwa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah terlibat dalam proses kepastian pada penghentian penyerangan oleh Israel, tidak perlu melakukan evakuasi yang dampak buruknya mungkin akan lebih besar.

“Daripada mengevakuasi seribu yang notabenenya masih berapa persen dari total populasinya, mengapa tidak memilih bentuk penyelesaian dari aspek penghentian tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Israel? sambil memastikan bahwa semua orang di sana mendapatkan akses pada kebutuhan dasarnya,” lanjut Ratih.

Ia juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk kembali pada koridor diplomasi sesuai pembukaan Undang-Undang Dasar.

“Prioritas sekarang adalah ikut memperjuangkan dengan cara menyerukan penghentian aksi militer di sana, gencatan senjata harus dicapai, Gaza adalah wilayah yang berisi manusia yang punya hak untuk hidup. Lebih baik kembali kepada koridor diplomasi yang sebelumnya telah dilakukan oleh Bu Retno (Menlu sebelumnya), segera menegosiasikan untuk membuka akses bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza,” tegas Ratih. (AT/E-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |