
BARU-BARU ini, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar terjadinya kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Yayasan Bill & Melinda Gates untuk melakukan uji coba vaksin tuberkulosis (Tb) terbaru yang dikenal sebagai vaksin M72. Isu itu sontak menimbulkan kontroversi. Sebagian kalangan menyambut langkah itu sebagai bentuk keterlibatan Indonesia dalam upaya global memerangi Tb--penyakit menular yang masih menjadi ancaman besar di Tanah Air.
Namun, tidak sedikit pula yang merasa skeptis. Muncul tudingan bahwa Indonesia kembali dijadikan 'kelinci percobaan' oleh kekuatan global yang diduga menyimpan agenda tersembunyi, termasuk motif ekonomi yang menguntungkan para pemain besar pada industri farmasi.
Namun, sebelum terjebak dalam keramaian opini, penting untuk menelusuri persoalan tersebut secara jernih dan berimbang dengan berpijak pada data, akal sehat, dan pertimbangan etis. Apakah keterlibatan Indonesia dalam uji klinis vaksin M72 merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem kesehatan nasional? Ataukah kita sedang menggadaikan keselamatan publik demi kepentingan pihak luar?
VAKSIN M72 BUKAN PRODUK INSTAN
Vaksin M72 bukanlah vaksin yang muncul tiba-tiba. Pengembangan vaksin itu telah dimulai sejak 1999. Selama lebih dari dua dekade, para peneliti telah melakukan studi terkait dengan hal itu dan melalui sejumlah fase penting. Di antaranya telah melewati uji praklinis pada hewan, kemudian berlanjut ke fase 1 dan fase 2 uji klinis pada manusia. Fase pertama dilakukan di Swiss, sementara fase kedua melibatkan tiga negara di Benua Afrika: Afrika Selatan, Kenya, dan Malawi.
Kini, M72 memasuki fase ketiga--tahapan akhir dalam proses uji klinis, yang akan menentukan apakah vaksin ini benar-benar efektif (dan aman) digunakan pada populasi yang lebih luas. Untuk fase ketiga ini, akan dilakukan uji coba pada 20 ribu partisipan pada 55 negara dari lima negara. Indonesia ualah salah satunya yang sekitar 2.000 penduduk Indonesia akan ikut dalam uji coba itu.
Di Indonesia sendiri, lima institusi kesehatan besar ditunjuk sebagai pusat pelaksanaan: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK UNPAD), RS Persahabatan, RS Islam Cempaka Putih, dan RS UI. Partisipan akan dipantau hingga awal 2028. Langkah itu jelas menempatkan Indonesia di panggung penting dalam sejarah pengembangan vaksin Tb itu.
Dari perspektif epidemiologis, partisipasi Indonesia dalam studi vaksin Tb memang sangat masuk akal. Indonesia ialah negara dengan beban Tb tertinggi kedua di dunia setelah India. Penderita Tb di Indonesia berkisar 2 juta orang. Data terakhir menunjukkan timbulnya 1,09 juta kasus Tb baru setiap tahunnya dengan angka kematian mencapai 130 ribu jiwa per tahun. Itu adalah angka yang mengkhawatirkan dan mencerminkan beban penyakit menular yang masih sangat tinggi di era modern.
Di sisi lain, vaksin Tb yang digunakan saat ini, yakni BCG (Bacillus Calmette–Guerin), hanya efektif pada bayi dan anak-anak dalam mencegah Tb berat seperti meningitis Tb. Namun, efektivitas vaksin itu menurun drastis pada orang dewasa yang justru merupakan kelompok paling rentan menyebarkan infeksi. Maka itu, kehadiran vaksin baru seperti M72 membawa harapan besar bagi adanya vaksin yang lebih efektif dan bercakupan luas ketimbang vaksin Tb konvensional yang ada saat ini.
Meski demikian, harapan itu harus dilandasi dengan kehati-hatian. Sebab, sampai saat ini, efektivitas vaksin M72 belum terbukti secara final. Uji klinis fase 3 itu justru bertujuan memastikan apakah klaim tersebut benar atau tidak. Setelah fase 3, barulah diketahui apakah vaksin itu efektif atau tidak.
KETERLIBATAN BILL GATES: FILANTROPI ATAU BISNIS STRATEGIS?
Pertanyaan penting yang muncul di benak ialah: mengapa Bill Gates tertarik mendanai proyek itu? Apakah benar itu murni untuk kepentingan kemanusiaan?
Yayasan Bill & Melinda Gates dikenal sebagai salah satu aktor terbesar dalam bidang pembiayaan riset kesehatan global, terutama di negara-negara berkembang. Mereka telah mendanai berbagai program vaksinasi, pengendalian HIV/AIDS, malaria, hingga nutrisi anak. Namun, di balik wajah filantropis tersebut, tak sedikit analis yang mencurigai adanya pola 'venture philanthropy', yakni pendekatan filantropi yang juga mempertimbangkan potensi keuntungan ekonomi dari investasi jangka panjang.
Faktanya, Gates Foundation memiliki saham di beberapa perusahaan bioteknologi dan farmasi besar, termasuk yang terlibat dalam pengembangan vaksin. Jika vaksin M72 terbukti efektif dan disetujui secara global, tentu akan terbuka pasar baru dengan potensi keuntungan luar biasa. Apalagi bila vaksin itu kemudian masuk program vaksinasi massal dunia lewat lembaga-lembaga seperti GAVI atau WHO.
Artinya, kita tidak bisa menafikan akan adanya kepentingan bisnis yang dicampur dengan motivasi sosial. Keduanya tampaknya akan berjalan beriringan. Di dunia ini, tidak ada free lunch. Jadi, ketika Bill Gates datang dengan bantuan ratusan triliunan rupiah, tidak keliru menebak kemungkinan adanya venture philantropy yang sementara direncanakan atau bahkan telah dijalankan.
RISIKO DAN ETIKA
Bukan berarti keterlibatan Indonesia dalam uji coba vaksin itu otomatis salah. Dalam banyak kasus, uji klinis di negara berkembang bisa menjadi jembatan akses terhadap inovasi medis terkini yang justru sulit dijangkau jika menunggu hasil akhir dari negara maju. Namun, sejarah juga mencatat banyak kasus kelam ketika uji coba dilakukan tanpa etika, tanpa persetujuan yang sah, bahkan dengan efek samping fatal yang tidak ditangani dengan baik.
Oleh karena itu, sejumlah prinsip fundamental harus dijaga secara ketat dalam pelaksanaan uji coba vaksin M72 ini. Dalam konteks ini, pemerintah dan stakeholder yang terlibat perlu secara serius dan ketat menjaga prinsip fundamental itu agar percobaan tersebut tidak menjadi bencana bagi penduduk Indonesia.
Pertama, partisipasi harus sepenuhnya bersifat sukarela. Setiap warga yang dilibatkan sebagai partisipan harus menyetujui keikutsertaan mereka tanpa adanya paksaan atau bujukan yang menyesatkan. Mereka juga harus mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai hak-hak mereka serta risiko yang mungkin timbul selama proses uji coba. Mereka juga harus diberikan kesempatan keluar dari penelitian kapan saja mereka mau.
Kedua, informasi harus disampaikan secara transparan dan menyeluruh. Tujuan dari uji coba, potensi manfaat yang diharapkan, risiko jangka pendek atau jangka panjang, serta hak partisipan untuk mengundurkan diri kapan pun tanpa konsekuensi harus dijelaskan dengan gamblang dan tidak menyesatkan. Masyarakat yang terlibat harus paham secara komprehensif tanpa ditutup-tutupi semua info terkait dengan vaksin itu.
Ketiga, meskipun uji klinis itu telah mendapatkan persetujuan dari lima komite etik di Indonesia serta izin resmi dari Badan POM, proses pengawasan oleh komite etik yang independen tetap harus dilakukan secara ketat sepanjang seluruh tahapan penelitian guna memastikan bahwa uji coba berjalan sesuai dengan standar etika dan keselamatan.
Keempat, kewajiban mitigasi menjadi tanggung jawab penuh peneliti dan institusi pelaksana. Mereka harus memiliki protokol yang jelas dan siap dijalankan jika terjadi efek samping atau kejadian yang tidak diinginkan. Hal itu mencakup pula skema kompensasi yang layak bagi partisipan yang mengalami dampak negatif dari uji coba.
Kelima, prinsip keadilan akses terhadap hasil penelitian harus ditegakkan. Apabila vaksin M72 terbukti efektif, Indonesia sebagai salah satu negara pelaksana uji coba harus memperoleh akses prioritas dengan harga yang adil. Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan sebagai laboratorium manusia, sementara manfaat hasil penelitian itu justru hanya dinikmati oleh negara-negara kaya.
HARAPAN JANGAN MEMBUTAKAN
Uji coba vaksin M72 ialah peluang sekaligus ujian. Peluang untuk memutus rantai penyebaran Tb di Indonesia, tapi juga ujian etika dan keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Kita tidak boleh menolak ilmu pengetahuan, tapi kita juga tidak boleh menyerahkan diri tanpa perlindungan kepada kepentingan global yang tidak selalu selaras dengan nasib masyarakat lokal.
Sikap terbaik ialah bersikap kritis, tapi konstruktif. Masyarakat berhak bertanya, berhak tahu, dan berhak mengawasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi yang adekuat dan tepat serta menjamin keselamatan, transparansi, dan keadilan. Selain itu, para peneliti harus bertanggung jawab menjaga akuntabilitas ilmiah dan etika profesional mereka.
Ketika Indonesia terlibat dalam uji klinis vaksin M72, itu bukan sekadar urusan laboratorium atau statistik. Itu merupakan momen penting untuk menunjukkan bahwa bangsa ini bisa berdiri sejajar--sebagai mitra ilmiah, bukan sekadar objek percobaan karena di balik setiap jarum suntik, ada nyawa manusia. Dalam setiap uji coba, seharusnya ada harapan, bukan pengorbanan diam-diam. Ini garis demarkasi yang harus dijaga secara ketat.