
KETIDAKSUKAAN Presiden AS Donald Trump terhadap Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky semakin meningkat. Bersamaan dengan itu, muncul ketidakpastian baru tentang masa depan Ukraina dan, secara lebih luas, keamanan Eropa.
Pekan lalu, Trump memberi isyarat merasa popularitas Zelensky rendah dan bahwa ia harus menghadapi pemilu. Namun, pada Selasa malam, ia melangkah lebih jauh dengan secara keliru menyatakan bahwa pemimpin Ukraina itu hanya memiliki 4% tingkat dukungan dan bahwa Ukraina-lah yang memulai perang.
Pernyataan ini sangat mirip dengan narasi Kremlin. Moskow berulang kali berupaya menyebarkan klaim keliru bahwa serangan tak beralasan mereka tahun 2022 dipicu keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO, serta menyebut Zelensky tidak sah karena Ukraina belum menyelenggarakan pemilu di tengah perang.
Selama berbulan-bulan, Zelensky berusaha mengambil hati Trump dengan menggambarkannya sebagai sosok yang bisa membawa perdamaian melalui kekuatan. Kyiv memahami retorika tim Trump di jalur kampanye menandakan kemungkinan perubahan besar bagi Ukraina, tetapi mereka tetap berharap Trump akan menghindari "momen Kabul" di Eropa, di mana keamanan runtuh begitu saja, dan tetap menahan Rusia.
Di latar belakang, selalu ada bayangan hubungan mereka yang penuh ketegangan selama masa jabatan pertama Trump—saat Zelensky tidak memberikan apa yang diinginkan Trump dalam percakapan telepon yang disebutnya "sempurna," yang berujung pada pemakzulan Trump. Kini, bayangan itu semakin nyata, dan Ukraina terkena dampaknya.
Zelensky berusaha meredam pernyataannya tentang Trump yang hidup dalam "ruang disinformasi" dengan menambahkan ia tetap menghormati presiden AS dan rakyat Amerika. Namun, Trump tidak melakukan hal serupa. Ia bahkan menyebut Zelensky sebagai "diktator" yang harus bertindak cepat untuk menyelamatkan Ukraina dan menganggapnya sedang menikmati "keuntungan pribadi."
Dalam lima hari terakhir, Gedung Putih dua kali secara keliru menyebut para pemimpin demokratis Eropa sebagai tiran, sambil menghindari menyebut catatan otoriter Kremlin dalam pidato yang sama. Akhir pekan lalu di Munich, Wakil Presiden AS JD Vance menyatakan sekutu Eropa yang paling demokratis justru takut pada pemilih mereka sendiri. Kini, Trump menyebut musuh terbesar Rusia sebagai "diktator" yang hanya mencari keuntungan. Para propagandis Putin bahkan tidak perlu bersusah payah menyusun narasi di tengah perkembangan ini.
Dilema eksistensial bagi Ukraina saat ini adalah apakah mereka masih memiliki pilihan antara pemimpin perang mereka dan sekutu militernya yang utama, Amerika Serikat. Apakah salah satu dari keduanya masih memiliki kekuatan yang cukup untuk bertahan?
Zelensky kini menjadi sasaran kritik pedas dari orang paling berkuasa di dunia, yang mengulang klaim Kremlin tanpa jelas dari mana sumbernya, serta mengubah arah perang terbesar di Eropa sejak 1940-an.
Dukungan finansial pemerintahan Trump untuk Ukraina sekarang dalam bahaya. Trump berulang kali menyatakan bantuan untuk Ukraina "hilang," dan bahwa Zelensky sedang menikmati "keuntungan pribadi." Ia sedang menyiapkan narasi untuk rakyat Amerika yang kemungkinan akan berujung pada pemotongan bantuan tersebut.
Lalu, mengapa Zelensky, yang telah menghabiskan setengah dari enam tahun masa jabatannya untuk berperang—yang awalnya bahkan tidak ia duga akan terjadi—tidak menggelar pemilu saja agar isu legitimasinya selesai?
Pemilu di Ukraina selalu sulit dalam dua dekade terakhir, bahkan di masa damai. Rusia telah berulang kali mencoba campur tangan, termasuk mencuri suara pada 2004 yang memicu protes besar dan menggulingkan kandidat pro-Kremlin yang menang secara curang.
Di masa perang, pemilu ditangguhkan karena darurat militer. Gencatan senjata dapat memungkinkan pemilu dengan memberi kesempatan bagi tentara untuk memberikan suara. Namun, bagaimana dengan jutaan warga Ukraina yang menjadi pengungsi di luar negeri? Bagaimana dengan reformasi pemilu dan undang-undang darurat yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang sah? Haruskah pemilu dipercepat demi hasil cepat, atau dilakukan secara menyeluruh untuk memenuhi standar internasional? Bagaimana jika serangan drone atau rudal Rusia mengacaukan hari pemungutan suara? Segala sesuatunya bisa salah, dan hampir pasti akan salah.
Hasilnya kemungkinan besar akan dipenuhi keraguan, semakin merusak mandat Zelensky yang dituduhkan sebagai tidak sah, atau malah memberikan kekuasaan kepada alternatif yang juga tidak memiliki legitimasi penuh. Hal ini akan menciptakan kekacauan di garis depan, di meja makan keluarga, di kafe-kafe Kyiv, dan di komunitas diaspora Ukraina di seluruh Eropa. Inilah yang diinginkan Kremlin: pergolakan politik yang semakin memperburuk kondisi Kyiv di medan perang.
Motivasi Trump semakin sulit dipahami. Dalam urusan keamanan geopolitik dan NATO, tidak ada ruang untuk menggertak; lawan akan melihat kelemahan dalam aliansi, bukan merasa lebih takut hanya karena sikap negosiasi yang keras terhadap sekutu sendiri. Tidak mungkin memaksakan perdamaian yang cacat kepada negara yang sedang berjuang untuk kelangsungan hidupnya. Tidak mungkin melemahkan pemimpin perang tanpa mengharapkan dampaknya di garis depan pertempuran.
Hanya satu kepentingan strategis yang diuntungkan dari langkah Trump yang mengubah tatanan global dalam dua minggu terakhir—dan itu adalah kepentingan musuh utama yang sejak awal menjadi alasan berdirinya NATO. (CNN/Z-2)