
ANAK perempuan yang diberi antibiotik selama tahun pertama kehidupan mereka, terutama dalam tiga bulan pertama, lebih mungkin memasuki masa pubertas pada usia lebih dini. Hal itu berdasarkan penelitian yang dipresentasikan pada Kongres Gabungan pertama antara Masyarakat Endokrinologi Anak Eropa (ESPE) dan Masyarakat Endokrinologi Eropa (ESE), dilansir dari News Medical, Sabtu (24/5).
Kemungkinan pubertas dini juga lebih tinggi di antara mereka yang terpapar berbagai kelas antibiotik. Temuan tersebut menyoroti pentingnya penggunaan obat-obatan ini secara tepat pada bayi dan bagaimana paparan obat pada usia dini dapat membentuk hasil kesehatan di masa mendatang.
Pubertas dini, juga dikenal sebagai pubertas prekoks sentral (CPP), adalah suatu kondisi yang ditandai dengan timbulnya perkembangan seksual sekunder lebih awal pada anak-anak. Pada anak perempuan, ini berarti sebelum usia delapan tahun dan pada anak laki-laki, sebelum usia 9 tahun.
Pubertas dini terutama memengaruhi anak perempuan dan sering kali tidak memiliki penyebab yang jelas. Sementara hal itu lebih jarang terjadi pada anak laki-laki.
Selama beberapa dekade terakhir, pubertas dini telah meningkat, dan para peneliti terus menyelidiki faktor-faktor yang berpotensi berkontribusi.
Dalam studi ini, para peneliti dari Rumah Sakit Guri Universitas Hanyang dan Pusat Medis Universitas Hanyang menganalisis data tentang asupan antibiotik dari 322.731 anak, berusia 0–12 bulan, di Korea Selatan. Mereka mengikuti anak-anak ini hingga anak perempuan berusia 9 tahun dan anak laki-laki berusia 10 tahun
Dalam temuannya, anak perempuan yang diberi resep antibiotik sebelum usia 3 bulan memiliki kemungkinan 33% lebih besar untuk mengalami pubertas dini. Risikonya 40% lebih tinggi pada anak perempuan yang menerima antibiotik sebelum usia 14 hari. Secara keseluruhan, semakin dini paparan antibiotik, semakin besar risiko pubertas dini.
Selain itu, anak perempuan yang menggunakan lima atau lebih kelas antibiotik memiliki risiko pubertas dini sebesar 22% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang menggunakan dua kelas atau kurang. Tidak ditemukan hubungan antara asupan antibiotik dan pubertas dini pada anak laki-laki.
"Studi berbasis populasi ini merupakan salah satu studi pertama yang mengeksplorasi hubungan antara penggunaan antibiotik di awal kehidupan, termasuk waktu, frekuensi, dan jumlah kelas, dan pada kelompok anak nasional yang begitu besar," kata Dr. Yunsoo Choe di Rumah Sakit Guri Universitas Hanyang di Korea Selatan yang terlibat dalam studi tersebut.
“Dalam penelitian kami sebelumnya, kami menemukan bahwa pemberian ASI eksklusif dikaitkan dengan risiko pubertas prekoks sentral (CPP) yang lebih rendah, mendukung gagasan bahwa faktor-faktor di awal kehidupan yang memengaruhi mikrobioma usus atau jalur endokrin-metabolisme dapat memengaruhi perkembangan pubertas. Studi saat ini didasarkan pada hal ini dengan memeriksa paparan antibiotik sebagai kemungkinan pengubah waktu pubertas, menggunakan populasi yang jauh lebih besar dan data paparan yang lebih terperinci,” tambahnya.
Menurutnya, hasil penelitian itu dapat mendorong dokter dan orang tua untuk mempertimbangkan dampak konsumsi antibiotik jangka panjang saat membuat keputusan pengobatan untuk anak kecil.
Selanjutnya, para peneliti akan meneliti bagaimana penggunaan antibiotik pada usia dini dapat memengaruhi perkembangan pubertas. Selain itu apakah penggunaan berulang atau jangka panjang selama masa kanak-kanak dikaitkan dengan aspek lain dari pertumbuhan, metabolisme, atau kesehatan endokrin.
"Penelitian kami menambah kekhawatiran yang berkembang tentang bagaimana antibiotik yang diberikan pada masa bayi dapat memengaruhi perkembangan jangka panjang anak-anak—mungkin dengan mengubah mikrobioma usus atau keseimbangan hormon—tetapi alasan di baliknya masih belum jelas," kata Dr. Choe.
"Memahami mekanisme biologis ini dapat membantu memandu penggunaan antibiotik yang lebih aman dan menginformasikan strategi perawatan anak di usia dini," pungkasnya. (H-3)