
DI INDONESIA, angka kematian Ibu (AKI) sebesar 189 per 10.000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi (AKB) sebesar 17 per 1.000 kelahiran hidup. Meski telah terjadi penurunan dalam 10 tahun terakhir, angka ini masih jauh dari target pencapaian SDGs.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Prof. dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, M.P.H., Ph.D., Sp.OG, Subsp. KFm mengatakan, terdapat pergeseran penyebab kematian ibu di Indonesia. Awalnya, penyebab kematian nomor 1 adalah pendarahan, diikuti hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi.
Prof Detty menyebut, kini penyebab kematian tertinggi bertransisi dengan komplikasi nonobstetri yang menduduki peringkat pertama diikuti dengan hipertensi dan perdarahan.
“Komplikasi nonobstetri merupakan suatu kumpulan penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme, termasuk di dalamnya penyakit jantung, obesitas, dan diabetes mellitus,” kata Detty dalam pidato pengukuhan guru besar dirinya yang berlangsung di ruang balai Senat UGM, Kamis (10/4).
Perubahan pola penyebab kematian ibu ini menurut Detty perlu ditelusuri lebih lanjut, agar dapat menjawab tantangan dan peningkatan kualitas kesehatan ibu dan bayi. Bahkan, identifikasi faktor risiko pun menjadi sangat penting untuk dilakukan sejak masa prakonsepsi, kehamilan, persalinan, sampai dengan pasca persalinan, agar penanganan yang dilakukan dapat komprehensif.
Strategi yang dilakukan pun harus berdasarkan atas praduga every pregnancy is at risk, yang artinya setiap kehamilan berisiko dan tidak ada kehamilan yang benar-benar bebas dari kemungkinan komplikasi. “Upaya yang dilakukan bukan hanya penanganan pada saat kelahiran, namun juga untuk kehamilan-kehamilan selanjutnya,” ujarnya.
Keterlambatan Diagnosis
Dari hasil penelitiannya yang menggunakan pendekatan epidemiologi, permasalahan yang kerap terjadi pada ibu maupun bayi di lapangan adalah adanya keterlambatan diagnosis.
Padahal, skrining dan deteksi dini kelainan pada janin seawal mungkin sangat bermanfaat. Para ibu akan lebih awal menyadari kondisi kehamilannya sehingga pengambilan keputusan untuk melanjutkan kehamilan atau melakukan terminasi kehamilan akan lebih tepat, aman, efektif, dan efisien.
“Semakin muda umur kehamilan, semakin rendah risiko terjadinya komplikasi akibat tindakan terminasi tersebut baik dari segi fisik, fungsi reproduksi maupun dampak psikologis ibu,” katanya.
Ia menegaskan, disiplin ilmu kedokteran fetomaternal (KFm) sangat penting dalam merawat ibu, baik sebelum dan selama kehamilan maupun saat persalinan dan pasca persalinan. Subspesialis KFm akan menangani ibu hamil berisiko tinggi akibat komplikasi obstetri dan medis, skrining dan diagnostik prenatal, manajemen komplikasi janin, tindakan invasif dan non-invasif pada janin, fetal therapy, manajemen persalinan risiko tinggi, masalah genetik dalam kehamilan, serta dampaknya terhadap ibu dan janin.
"Melalui fetomaternal pula, evidence synthesis, atau suatu penelitian sekunder, yang menyatukan semua penelitian primer yang mempunyai pertanyaan penelitian yang sama dan relevan dapat dilakukan," terang dia.
Penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk adanya kesenjangan pengetahuan atau adanya perbedaan pendapat antar ahli, dan untuk mencari bukti ilmiah terbaik dan terkini yang menjadi dasar pengambilan keputusan klinis atau pembuatan kebijakan nantinya.
Detty melanjutkan, penguatan faskes primer seperti puskesmas memegang peranan penting dalam melakukan identifikasi ibu dengan kehamilan risiko tinggi. Hal itu dapat memberikan layanan antenatal dan pertolongan persalinan tanpa komplikasi, serta rujukan ibu risiko tinggi ke rumah sakit.
Detty pun menyampaikan bahwa tujuan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ini tidak hanya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi saja, melainkan untuk meningkatkan kualitas hidup ibu dan bayinya. Sistem kesehatan yang kuat dan sumber daya yang memadai sangat dibutuhkan.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D., menyampaikan bahwa Prof. Detty merupakan 1 dari 528 guru besar aktif yang dimiliki oleh UGM, dan merupakan 1 dari 75 guru besar aktif dari 102 guru besar yang pernah dimiliki oleh FKKMK UGM. (E-2)