
KETUA Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyatakan kontraksi kinerja sektor manufaktur nasional yang tecermin dari Purchasing Manager’s Index (PMI) April 2025 disebabkan oleh sejumlah tekanan eksternal dan domestik yang kompleks.
Ia mengingatkan pemerintah untuk segera merealisasikan deregulasi dan stimulus ekonomi secara konsisten guna mencegah pelemahan lebih dalam.
"Kontraksi kinerja manufaktur memang secara tidak langsung dikontribusikan oleh kebijakan tarif AS dan dampaknya terhadap nilai tukar, yang menyebabkan cost push inflation di sisi impor bahan baku dan menurunkan confidence konsumsi di pasar global," ujar Shinta saat dihubungi, Minggu (4/5).
Namun, menurutnya, tekanan dari luar negeri bukan satu-satunya penyebab. Penurunan permintaan di pasar domestik pasca-Ramadan dan Lebaran juga memberikan dampak besar terhadap perlambatan sektor manufaktur.
"Adanya koreksi dan normalisasi, atau penurunan demand pasar domestik pascaperiode Ramadan-Lebaran juga memberikan pengaruh yang besar, apalagi inflasi Maret hanya 1,03% (yoy), di bawah target nasional," jelas Shinta.
Ia mengatakan kondisi ini membuat pelaku usaha manufaktur kehilangan kepercayaan untuk melakukan ekspansi. "Selain beban produksi yang meningkat, demand di pasar dalam dan luar negeri juga sluggish (lamban)," ungkapnya.
Shinta memperkirakan kontraksi PMI bisa berlanjut hingga akhir triwulan II 2025 dan bahkan mungkin hingga akhir tahun, bergantung pada perkembangan global serta kecepatan dan ketepatan respons pemerintah terhadap tekanan eksternal.
"Selama tidak ada perbaikan signifikan dalam penguatan nilai tukar, efisiensi beban usaha, dan stimulasi investasi yang mendorong daya beli masyarakat, akan sangat sulit bagi PMI untuk kembali ke zona ekspansif," katanya.
Ia juga menanggapi rencana stimulus pemerintah dalam merespons dampak kebijakan tarif AS. Menurutnya, meski arah kebijakan berupa deregulasi sudah tepat, implementasinya sering kali lamban dan tidak konsisten.
"Berkaca pada UU Cipta Kerja, deregulasi di Indonesia kerap tidak konsisten, bahkan ada yang backtrack. Karena itu, masih terlalu dini untuk menilai dampaknya," kata Shinta.
Ia menegaskan agar pemerintah tidak menunggu hasil perundingan dengan AS sebelum merealisasikan kebijakan-kebijakan tersebut. "Indonesia sebaiknya tidak bergantung pada hasil perundingan karena the damage has been done dan bahkan sudah mulai kita rasakan saat ini," jelasnya.
Karenanya, Shinta menyerukan percepatan reformasi struktural di sektor usaha dan investasi nasional. "Semakin cepat dan konsisten reformasi dilakukan melalui deregulasi, debirokratisasi, dan peningkatan efisiensi, Indonesia akan semakin berpeluang menahan perlambatan ekonomi nasional," pungkas Shinta.
Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025 berada di level 46,7 atau kembali di fase kontraksi, yaitu di bawah poin 50 seperti hasil laporan S&P Global.
Pelambatan PMI Manufaktur Indonesia pada April 2025 sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan April 2025 yang tercatat berada di level 51,90. Meskipun masih di dalam fase ekspansi, lajunya mengalami perlambatan dibandingkan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebesar 1,08 poin. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai IKI April 2025 juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin. (Mir/E-1)