
RENCANA pemerintah menghapus sistem kelas dalam kepesertaan BPJS Kesehatan dan menggantinya dengan skema tunggal Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) kembali menuai kritik keras dari kalangan pekerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menilai kebijakan tersebut tidak adil dan berpotensi menurunkan kualitas layanan yang selama ini diterima para buruh.
“Dengan KRIS, kami dipaksa turun ke kelas yang lebih rendah meski membayar iuran lebih tinggi. Ini bukan pemerataan ke atas, tapi penyamarataan ke bawah,” ujar Ristadi dalam keterangannya, Kamis (29/5).
Ia menegaskan bahwa selama ini pekerja memilih kelas perawatan sesuai kemampuan ekonomi, dan kebijakan baru tersebut mencabut hak tersebut tanpa mekanisme dialog sosial yang memadai. KSPN menyayangkan absennya keterlibatan serikat pekerja dalam penyusunan KRIS, meskipun kebijakan tersebut langsung berdampak pada jutaan pekerja formal.
Ristadi juga menyoroti kesiapan infrastruktur rumah sakit, terutama di daerah, yang dinilainya belum memadai untuk implementasi KRIS secara nasional. Ia memperingatkan bahwa buruh berisiko tidak mendapatkan layanan rawat inap yang layak, atau bahkan ditolak karena keterbatasan fasilitas.
“KRIS ini membuka peluang komersialisasi layanan kesehatan rakyat. Ketika semua diseragamkan, yang terjadi justru pemisahan diam-diam: peserta biasa di KRIS, sementara layanan premium dibuka untuk yang mampu bayar lebih,” ujarnya. “Yang diuntungkan justru rumah sakit swasta dan perusahaan asuransi.”
KSPN menyatakan tidak menolak perbaikan kualitas layanan, namun mendesak agar KRIS tidak menjadi alasan untuk memangkas manfaat yang sudah ada. Mereka meminta pemerintah mempertahankan sistem kelas 1, 2, dan 3 dengan besaran iuran yang proporsional, sambil menaikkan standar layanan di kelas 3.
“Kami minta Menkes membatalkan KRIS tunggal. Libatkan serikat pekerja dalam setiap proses reformasi JKN,” tutup Ristadi.