Serikat Pekerja DIY Tolak PP 28/2024: Picu Peningkatan Peredaran Rokok Ilegal

4 hours ago 2
Serikat Pekerja DIY Tolak PP 28/2024: Picu Peningkatan Peredaran Rokok Ilegal Ilustrasi(Antara)

Sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur sektor pertembakauan serta wacana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT), menuai penolakan keras dari kalangan pekerja industri hasil tembakau (IHT). Kebijakan ini dinilai mengancam keberlangsungan industri dan kesejahteraan jutaan pekerja yang menggantungkan hidup pada sektor tersebut.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestariyanto menyuarakan penolakan tegas terhadap PP 28/2024 dan mendesak pemerintah melakukan deregulasi dengan membatalkan pasal-pasal tembakau pada PP tersebut.

"Pastinya setuju dengan adanya deregulasi, apalagi pasal-pasal itu betul-betul membatasi ruang gerak ekosistem pertembakauan," ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Selasa (24/6).

Meskipun niat awal PP 28/2024 adalah untuk mengatur, isi pasal-pasalnya justru berpotensi mematikan ekosistem pertembakauan nasional. Aturan ini mencakup pembatasan ketat terhadap iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau, serta wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), aturan turunan PP 28/2024.

Selain itu, PP ini juga menjadi rujukan utama dalam revisi peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai wilayah.

"Itu ‘kan terkait ruang gerak industri hasil tembakau semakin tidak bisa bergerak, artinya jualan saja susah. Apalagi mau promosi dan lain-lain, susah," imbuh dia.

Menurut Waljid, pembatasan yang semakin ketat akan berdampak langsung pada penurunan penjualan. Hal ini akan mendorong perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk pengurangan tenaga kerja. “Efisiensi itu tidak hanya di lini produksi, tapi juga menyasar sumber daya manusia. Ini bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK),” jelasnya.

Karena alasan tersebut, SPSI-RTMM menolak keras kebijakan pertembakauan dalam PP 28/2024 sejak awal disahkan. Mereka juga berencana mengirim surat resmi kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk menyampaikan penolakan terhadap pasal-pasal yang mengatur produk hasil tembakau.

Selain aspek non-fiskal, Waljid juga menyoroti kebijakan fiskal berupa kenaikan CHT yang hampir terjadi setiap tahun. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan daya beli masyarakat yang menurun, kebijakan ini dinilai tidak tepat.

"Daya beli masyarakat turun, kemudian masyarakat itu akan tetap merokok tapi dengan rokok yang lebih murah. Sekarang lagi marak yang tanpa cukai itu, yang ilegal," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa kombinasi antara regulasi pengendalian yang berlebihan dan tidak sesuai kondisi di lapangan serta kenaikan cukai justru mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal, yang pada akhirnya merugikan negara karena hilangnya potensi penerimaan cukai.

Waljid menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada pembatasan dan kenaikan tarif, tetapi juga serius dalam menekan peredaran rokok ilegal melalui penegakan hukum yang konsisten.

“Lebih baik tunda dulu (moratorium) saja kenaikan cukai rokok, paling tidak untuk tiga tahun ke depan,” pungkasnya. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |