
Kalangan buruh mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan. Mereka menilai kebijakan fiskal yang selama ini diterapkan justru memperlemah industri hasil tembakau (IHT), meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), dan memperluas peredaran rokok ilegal. Seruan ini juga ditujukan kepada Dirjen Bea dan Cukai yang baru, Letjen Djaka Budi Utama, agar mempertimbangkan usulan moratorium dalam perumusan kebijakan CHT 2026–2029.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, menyatakan bahwa kebijakan kenaikan cukai tahunan selama ini justru menjadi bumerang bagi industri.
“Kenaikan cukai tahunan, yang tidak efektif dalam mengendalikan konsumsi serta berdampak pada target penerimaan negara, adalah bukti kebijakan yang merugikan semua pihak. Rokok legal sudah mahal dan tertekan, rokok ilegal terus tumbuh,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Rabu (25/6).
Sudarto mendukung penuh usulan moratorium CHT selama tiga tahun, namun dengan catatan bahwa penundaan tersebut tidak diikuti dengan lonjakan tarif yang drastis setelahnya. “Sudah seharusnya cukai rokok tidak naik, namun jangan seperti tahun-tahun yang lalu, tidak naik tapi berikutnya kenaikannya berlipat ganda atau dirapel,” kata dia.
Ia menilai bahwa dalam kondisi ekonomi yang masih penuh tekanan, penundaan kenaikan cukai justru dapat menjaga daya beli masyarakat dan menyelamatkan lapangan kerja. “Industri ini padat karya, menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Banyak dan/atau besarnya daya beli pekerja berperan dalam menjaga perekonomian nasional. Hal ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti diatur dalam UUD 1945,” tegasnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Sudarto juga mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi dan revitalisasi industri guna meringankan beban sektor padat karya. “Perlu tindakan nyata; keringanan bahkan penghapusan berbagai beban yang terlalu berat yang mengancam kelangsungan industri sebagai sawah ladang sumber mata pencaharian pekerja,” kata Sudarto.
Senada dengan itu, Ketua FSP RTMM-SPSI Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestariyanto, menyoroti tekanan berlapis yang dihadapi industri hasil tembakau. Selain kebijakan fiskal, ia menekankan pentingnya memperhatikan daya beli masyarakat yang terus menurun.
“Karena mengingat daya beli masyarakat juga turun, jadi kami justru ingin meminta kepada Presiden untuk menunda kenaikan cukai paling tidak tiga tahun ke depan. Karena kita melihat kondisi ekonomi juga tidak baik-baik saja,” jelas Waljid.
Ia juga menyoroti efek samping dari kebijakan yang terlalu membatasi, yakni meningkatnya peredaran rokok ilegal. “Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada pengaturan, pembatasan, dan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), tetapi juga menunjukkan keseriusan dalam menegakkan hukum terhadap peredaran rokok ilegal,” tegasnya. (H-2)