
GREENPEACE Indonesia mengkritik Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang disebut bisa rugikan ekonomi dan tidak selaras dengan urgensi transisi energi.
RUPTL merupakan dokumen perencanaan acuan bagi PT PLN dalam mengembangkan dan menyediakan tenaga listrik di Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Namun di tengah urgensi krisis iklim dan transisi energi. RUPTL 2025-2034 masih menunjukkan keberpihakan Pemerintah dan PT PLN terhadap bahan bakar fosil.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, mengatakan penggunaan gas fosil menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat, mencakup beban subsidi energi yang membengkak. Indonesia diproyeksikan akan menjadi net importer gas fosil pada tahun 2040, hingga dampak kesehatan dan lingkungan yang meningkat di sekitar pembangkit.
Riset Trend Asia juga menunjukkan bahwa pengembangan gas fosil di Indonesia akan semakin menjauhkan Indonesia dari pencapaian target iklim, juga membutuhkan pendanaan besar mencapai USD32,42 miliar yang akan menjadi beban keuangan negara di masa depan.
Dalam RUPTL tersebut masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt.
"Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis pembangkit tersebut," kata Adila dalam keterangannya, Jumat (30/5).
Meningkatkan Emisi
Adila menjelaskan berdasarkan data historis, di saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15% pada tahun 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga 2023. Jumlah ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan penambahan pembangkit listrik energi fosil yang mencapai 18.4 Gigawatt pada periode yang sama, atau hampir enam kali lipat dari pertambahan energi terbarukan.
"Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060, di mana sangat bertentangan dengan kesepakatan iklim dan tren global," ujar Adila.
Rencana penggunaan gas fosil secara masif juga disampaikan oleh pihak PLN dalam Accelerated Renewable Energy Development (ARED), di mana PLN menargetkan pembangunan 22 GW pembangkit listrik gas baru hingga tahun 2040 mendatang.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia dan CELIOS, rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga gas fosil tersebut berpotensi meningkatkan emisi karbon dalam jumlah besar, yaitu 49,02 juta ton per tahun.
"Angka ini pun belum memperhitungkan jumlah kebocoran gas metana yang terjadi di sepanjang rantai pasok dari gas fosil, dimulai dari proses ekstraksi pengiriman/transportasi, hingga penggunaan," ungkapnya.
Gas fosil terdiri dari gas metana sebagai komposisi utama dan gas metana tersebut merupakan salah satu gas rumah kaca yang memiliki kekuatan memerangkap panas matahari di bumi 82.5 kali lebih kuat daripada emisi karbon, sehingga akan menyebabkan pemanasan global dan krisis iklim semakin parah.
PR PLN
Di sisi lain, sektor kelistrikan Indonesia juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk menambah bauran energi terbarukan. Dari kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JET-P), Indonesia memiliki target mencapai 44% energi terbarukan pada tahun 2030.
Lebih dari itu, Presiden Prabowo pun telah menyampaikan komitmennya, bahwa Indonesia berkomitmen untuk membangun 75 Gigawatt energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan dan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat daripada komitmen sebelumnya.
Untuk mencapai komitmen tersebut, pemerintah harus memberi arah kebijakan yang jelas, yaitu meninggalkan bahan bakar fosil sepenuhnya serta fokus membangun energi terbarukan. Prinsip ini harus tercermin dalam kebijakan nasional dan sektoral, termasuk RUPTL baru yang akan menjadi acuan kelistrikan di Indonesia dalam 10 tahun ke depan.
"Penghentian dan pembatalan pembangunan pembangkit listrik energi fosil, baik batu bara maupun gas fosil, harus dilakukan untuk menghindari kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in akibat sudah terbangunnya infrastruktur pembangkit dan pendukungnya," ungkapnya.
"Pemerintah seharusnya memberikan ruang bagi energi terbarukan, seperti surya dan angin, untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia, sejalan dengan komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden Prabowo," pungkasnya. (H-2)