
KALIMANTAN Barat diketahui menjadi salah satu lokomotif sawit nasional, provinsi ini merupakan salah satu wilayah dengan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian dengan luas perkebunan kelapa sawit mendekati 1,5 juta hektare lahan sawit yang menyerap jutaan tenaga kerja.
Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (Yayasan IJMI) memiliki visi melindungi masyarakat Indonesia yang hidup dalam kerentanan dari segala bentuk kerja paksa dan perbudakan modern (forced labor slavery). Isu utama eksploitasi tenaga kerja dilaporkan terjadi di beberapa sektor, termasuk kelapa sawit.
"Kalimantan Barat memiliki potensi yang sangat baik untuk berkembang lebih pesat lagi sebagai produsen kelapa sawit yang besar, dan tentunya hal ini akan berkontribusi pada peningkatan ekonomi di Indonesia. Namun di balik itu, kita juga ingin memastikan bahwa para pekerja bisa bekerja dengan kondisi yang baik, aman dan adil, sehingga penting untuk memastikan bahwa hak-hak dasar mereka terpenuhi dan dilindungi," kata Direktur Eksekutif Yayasan IJMI, Try Harysantoso dikutip dari siaran pers yang diterima, Selasa (22/4).
"Hak dasar pekerja sawit antara lain adalah upah layak, waktu kerja yang wajar, akses layanan kesehatan dan keselamatan kerja, serta kesempatan menyampaikan aspirasi secara aman. Keseluruhan hak-hak dasar ini harus tertuang dalam kontrak kerja yang dibuat secara tertulis dan disepakati kedua belah pihak," lanjut dia.
Di samping itu, ia juga menyoroti soal proses rekrutmen yang jelas dan transparan, menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman, serta kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau keluhan secara aman kepada pihak manajemen dan hal-hal penting agar para pekerja bisa produktif dan merasa dihargai dalam pekerjaannya.
Dalam waktu dekat, lanjutnya, Yayasan IJMI akan memperkuat sosialisasi dan edukasi, baik bagi para pekerja, perusahaan, dan juga aparat di lapangan.
"Kami juga ingin membangun mekanisme pelaporan yang mudah dan aman dimana dalam jangka panjang, kami berharap bisa mendukung terciptanya sistem perlindungan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Dengan demikian, upaya kita bersama ini akan berdampak besar bagi industri sawit di tanah air, yang memberikan perlindungan bagi pekerja sawit, di saat yang bersamaan, memberikan lingkungan yang kondusif bagi perusahaan untuk semakin maju," beber Try.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia, Agus Sutomo, menegaskan bahwa pihaknya mengindikasikan masih banyak pekerja sawit yang hak-haknya tidak terpenuhi karena mereka masuk dalam kategori Buruh Harian Lepas (BHL), sehingga jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan tidak terpenuhi.
"Akibat lain dari status sebagai BHL ini, mereka tidak berhak mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya), dan jika ada pemutusan kerja, maka mereka juga tidak berhak atas pesangon dan jasa kerja. Posisi mereka lemah dan rentan," terang dia.
Tingkat kepatuhan rendah
Ia juga menjabarkan lebih detil bahwa fakta-fakta di lapangan tersebut mencerminkan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap standar ketenagakerjaan, terutama dalam hal perlindungan BHL. Selain itu, masih ada perusahaan yang tidak memberikan fasilitas pemeriksaan kesehatan rutin bagi buruh yang berisiko terpapar bahan kimia, seperti pestisida dan pupuk kimia.
“Sementara bagi pekerja sawit perempuan, mereka merupakan pekerja yang sangat rentan karena banyak bersentuhan dengan bahan kimia tanpa APD yang memadai dan pemeriksaan kesehatan rutin. Dengan status BHL, membuat mereka takut menuntut hak seperti cuti haid dan melahirkan. Mereka juga kerap mengalami pelecehan seksual, dan saat melapor justru diancam mutasi atau PHK oleh atasan,” ujar Bung Tomo.
Fakta ini pun mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah pembinaan dan pengawasan yang lebih intensif. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, Hermanus mengungkapkan bahwa di Kalimantan Barat, terdapat 12 kabupaten kota dengan total sekitar 438 perkebunan sawit.
"Kami tidak memungkiri temuan-temuan dan fakta di lapangan tersebut, dimana masih banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum mematuhi ketentuan, norma kerja, dan aturan K3. Sehingga kami pun berkomitmen dan senantiasa berupaya melakukan pembinaan baik edukatif maupun non-justisia dan represif, agar perusahaan benar-benar patuh terhadap norma ketenagakerjaan," tuturnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa status hubungan kerja juga sering kali tidak sesuai, di mana pekerja yang seharusnya memiliki status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) malah tetap dipertahankan dalam status yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hal ini juga berlanjut pada ketidakpatuhan terhadap standar K3, di mana perusahaan sering mengabaikan penerapan budaya K3 yang seharusnya diterapkan untuk melindungi pekerja.
“Pemantauan dan pengawasan memang harus kuat dan konsisten dilaksanakan, dan kami mengapresiasi usaha-usaha yang dilakukan oleh para mitra, seperti Teraju dan Yayasan IJMI," imbuhnya.
Untuk diketahui, Yayasan IJMI memiliki tujuan strategis hingga 2030, yaitu mewujudkan sistem peradilan yang efektif di Indonesia dan melindungi lebih dari 15 juta orang yang hidup dalam kerentanan. (E-2)