
ALHAMDULILLAH kita telah menuntaskan puasa wajib bulan Ramadan. Sekarang umat Islam masuk di bulan Syawal. Dalam bulan Syawal, kita disunahkan untuk berpuasa enam hari.
Pada tulisan kali ini, kita membahas tiga hal terkait puasa Syawal. Hal itu ialah puasa enam hari Syawal harus berurutan atau boleh terpisah, hukum membatalkan puasa Syawal, dan saat silaturahmi sebaiknya melanjutkan puasa Syawal atau boleh dibatalkan. Berikut pendapat ulama tentang tiga hal terkait puasa Syawal
Puasa enam hari bulan Syawal harus berurutan atau boleh terpisah?
Jawabannya, tidak harus berurutan. Karena memang teks hadis yang menyebutkan itu tidak memberikan tambahan adanya tatabbu'an atau berurutan.
Teks hadis yang ada bersifat mutlak begitu saja. Karenanya tidak harus berurutan, boleh dikerjakan secara terpisah. Yang penting masih di bulan Syawal.
Lagi pula, keutamaan puasa setahun itu sebab jumlah harinya yakni 30 hari Ramadan sama dengan 300 hari dan 6 hari syawal sama dengan 60 hari. Keutamaan ini bisa didapatkan walaupun tidak berurutan puasa Syawal.
Imam Nawawi mengatakan tentang hal itu.
وَالْأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيلَةُ الْمُتَابَعَةِ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ قَالَ الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ وَقَدْ جَاءَ هَذَا فِي حَدِيثٍ مَرْفُوعٍ فِي كِتَابِ النَّسَائِيِّ
Yang paling utama adalah puasa enam hari (Syawal) dilakukan secara berurutan setelah hari Idul Fitri. Namun, jika seseorang memisahkannya atau menundanya dari awal Syawal hingga akhir bulan, ia tetap mendapatkan keutamaan mengikuti (puasa Ramadan dengan puasa Syawal), karena secara makna tetap dianggap telah mengikuti Ramadan dengan enam hari dari Syawal.
Para ulama berkata puasa enam hari Syawal disamakan dengan puasa sepanjang tahun, karena satu kebaikan dilipatgandakan 10 kali lipat. Maka, puasa Ramadan setara dengan 10 bulan dan enam hari Syawal setara dengan dua bulan. Hal ini juga disebutkan dalam hadits marfu yang terdapat dalam kitab An-Nasai. (Syarh Shahih Muslim Juz 8 Hal 56).
Hukum membatalkan puasa Syawal
Kesepakatan empat mazhab bahwa orang yang berpuasa sunah lalu membatalkan puasanya tersebut tergolong tidak masalah, tidak berdosa, dan tidak ada qada baginya. Catatannya, pembatalan puasa sunah tersebut karena alasan mendesak atau uzur yang memang dilegalkan, seperti sakit atau ada kewajiban mendesak yang harus diselesaikan dengan badan yang fit. Artinya, pembatalannya tersebut bukan tanpa sebab.
Itu yang disepakati. Akan tetapi ada masalah yang tidak disepakati, yakni jika orang berpuasa lalu dengan sengaja dan tanpa sebab membatalkan puasa itu tanpa alasan. Ini yang ulama empat mazhab kemudian terbagi dalam dua pendapat yaitu melarang dan mewajibkan qada dan membolehkan secara mutlak.
Al-Imam Ibnu Rusydi mengatakan yang terkait hal itu.
وَأَمَّا حُكْمُ الْإِفْطَارِ فِي التَّطَوُّعِ: فَإِنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى مَنْ دَخَلَ فِي صِيَامِ تَطَوُّعٍ فَقَطَعَهُ لِعُذْرٍ قَضَاءٌ. وَاخْتَلَفُوا إِذَا قَطَعَهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ عَامِدًا، فَأَوْجَبَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَجَمَاعَةٌ: لَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ.
Adapun hukum membatalkan puasa sunah, para ulama sepakat bahwa siapa pun yang memulai puasa sunah lalu membatalkannya karena suatu uzur, maka ia tidak wajib menggantinya.
Namun, mereka berbeda pendapat jika seseorang membatalkan puasa sunahnya tanpa uzur dan secara sengaja. Imam Malik dan Abu Hanifah mewajibkan qada (pengganti). Sedangkan Imam Syafii dan sekelompok ulama lain berpendapat bahwa ia tidak wajib menggantinya. (Bidayatul Mujtahid Juz 2 Hal 74).
Saat silaturahmi, puasa Syawal lanjut atau batalkan?
Dalam permasalahan ini perlu diperinci. Kita harus tahu/memperkirakan terlebih dahulu tentang tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita.
Kalau ia tidak berkeberatan, kita tetap lanjutkan berpuasa. Bila ia keberatan, lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari lain bulan Syawal.
Syekh Khatib Asy-Syirbini menjelaskan hal itu di dalam kitabnya.
فَإِنْ شَقَّ عَلَى الدَّاعِي صَوْمُ نَفْلٍ) مِنْ الْمَدْعُوِّ (فَالْفِطْرُ) لَهُ (أَفْضَلُ) مِنْ إتْمَامِ الصَّوْمِ وَلَوْ آخِرَ النَّهَارِ لِجَبْرِ خَاطِرِ الدَّاعِي: «لِأَنَّهُ ﷺ لَمَّا أَمْسَكَ مَنْ حَضَرَ مَعَهُ وَقَالَ: إنِّي صَائِمٌ. قَالَ لَهُ: يَتَكَلَّفُ لَك أَخُوك الْمُسْلِمُ، وَتَقُولُ: إنِّي صَائِمٌ؟ أَفْطِرْ، ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ» رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ: فَإِنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ ذَلِكَ فَالْإِمْسَاكُ أَفْضَلُ، وَلَا يُكْرَهُ أَنْ يَقُولَ: إنِّي صَائِمٌ، حَكَاهُ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ عَنْ الْأَصْحَابِ، أَمَّا صَوْمُ الْفَرْضِ فَلَا يَجُوزُ الْخُرُوجُ مِنْهُ وَلَوْ مُوَسَّعًا كَنَذْرٍ مُطْلَقٍ.
Jika puasa sunah seseorang menyulitkan tuan rumah yang mengundangnya, berbuka lebih utama baginya daripada menyempurnakan puasanya, meskipun sudah di penghujung hari, demi menghormati perasaan tuan rumah.
Hal ini berdasarkan kisah ketika Nabi SAW sedang berpuasa lalu orang-orang yang hadir bersamanya juga menahan diri dari makan. Kemudian seseorang berkata kepada beliau, "Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan Anda berkata, 'Saya sedang berpuasa?' Batalkanlah puasamu dan qadalah pada hari lain sebagai gantinya." (Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya).
Namun, jika puasanya tidak memberatkan tuan rumah, melanjutkan puasa lebih utama. Tidak makruh jika seseorang berkata, "Aku sedang berpuasa," sebagaimana dinukil oleh Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib dari para ulama mazhab.
Adapun puasa wajib tidak diperbolehkan membatalkannya, meskipun itu puasa wajib yang waktunya masih luas, seperti puasa nazar yang tidak ditentukan waktunya. (Mughnil Muhtaj Juz 4 Hal 409).
Demikianlah penjelasan tentang tiga masalah seputar puasa Syawal. Semoga bermanfaat. (I-2)