Praktik Biopower dalam Pembangunan Kependudukan dan Kesehatan

2 weeks ago 17
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

BIOPOWER adalah konsep yang sangat populer di era modernitas. Konsep yang diperkenalkan filsuf Prancis Michel Foucault ini menjadi landasan teoretis penting dalam memahami bagaimana kekuasaan mengelola kehidupan manusia, khususnya dalam konteks pembangunan kependudukan dan kesehatan.

Biopower merupakan bentuk kekuasaan yang mengatur populasi melalui kontrol atas tubuh individu (anatomo-politics) maupun populasi (bio-politics) yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Negara menggunakan mekanisme biopolitik untuk mengelola populasi melalui kebijakan publik, sistem kesehatan, dan hukum.

Lebih dari sekadar pengawasan, biopower mencerminkan bagaimana negara dan institusi lainnya mendisiplinkan, mengatur, dan mengontrol kehidupan demi mencapai tujuan tertentu, seperti pengendalian populasi, peningkatan kesehatan masyarakat, dan stabilitas sosial.

Pada saat ini, negara-negara di dunia mulai menyadari pentingnya perencanaan populasi dan kesehatan publik sebagai bagian penting dari pembangunan ekonomi dan sosial. Praktik biopower kemudian menjadi model yang diadopsi secara luas oleh negara di seluruh dunia, dengan memperkuat peran biopower sebagai instrumen pengelolaan kehidupan masyarakat di era modern.

PATOLOGI MODERNITAS

Di Indonesia, penerapan biopower telah dimulai sejak masa kolonial Belanda. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan kesehatan untuk mengendalikan wabah penyakit guna melindungi tenaga kerja dan memastikan stabilitas ekonomi. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan praktik ini melalui program kependudukan dan kesehatan yang lebih sistematis.

Program KB, vaksinasi massal, posyandu, dan JKN adalah sebagian contoh regulasi kependudukan berbasis biopower. Dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan, praktik biopower telah membawa dampak positif yang signifikan, seperti melakukan pengendalian penyakit menular yang lebih efektif, peningkatan angka harapan hidup, serta penurunan angka kematian ibu dan anak.

Sayangnya, dalam praktik biopower selama ini masih mengidap patologi modernitas yang ditandai oleh adanya pelayanan yang belum profesional, diskriminatif, low trust, adanya sikap skeptis, ketimpangan sosial, bahkan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.

Pengawasan yang dilakukan secara ketat melalui teknologi digital berpotensi menciptakan budaya pengawasan sehingga mengikis privasi dan kebebasan individu. Program KB, yang cenderung menargetkan perempuan, kian meningkatkan beban gender dalam keluarga.

Basis data kesehatan yang terhubung secara digital memungkinkan negara dan institusi medis dapat memantau status kesehatan individu secara real-time melalui aplikasi digital yang rawan disalahgunakan sebagaimana pernah terjadi di mana data terkait vaksinasi, riwayat check-in, dan pelacakan kontak bocor dan dijual oleh peretas dengan nama Bjorka.

Ketergantungan pada data kesehatan yang terpusat memperbesar risiko bahwa informasi pribadi dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sekaligus mencerminkan adanya pelanggaran privasi yang berpotensi membahayakan hak-hak individu.

Dalam konteks ini, penggunaan biopower memerlukan batasan etis dan regulasi yang kuat untuk memastikan bahwa pengendalian kehidupan manusia tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi.

URGENSI DEKONSTRUKSI

Praktik biopower yang dilakukan selama ini masih perlu dikritisi. Kebijakan yang ada belum sepenuhnya mampu menjangkau seluruh masyarakat secara merata dan adil. Hasil survei kesehatan Indonesia tahun 2023, misalnya, menunjukkan masih adanya ketimpangan akses kesehatan di mana 44,8% penduduk desa mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan. Selain itu, sebanyak 34,5% penduduk desa belum memiliki jaminan kesehatan.

Segmen masyarakat strata atas memiliki akses layanan kesehatan yang jauh lebih mudah (65,1%) ketimbang kelompok masyarakat dengan strata sosial ekonomi rendah (32,2%). Realitas ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam akses layanan kesehatan yang masih terdeterminasi oleh status ekonomi, keterbatasan finansial/anggaran, geografis, maupun infrastruktur.

Saat ini, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan. Data PBB (2024) menunjukkan angka harapan hidup 71,3 tahun, di bawah rata-rata global 73,3 tahun. Angka kematian ibu tercatat sebanyak 189 per 100.000 kelahiran, angka kematian bayi sebesar 16,85 per 1.000 kelahiran, serta prevalensi stunting masih sekitar 21,5%.

Praktik biopower ibarat pisau bermata dua, efektif dalam meningkatkan kualitas hidup, tetapi berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial dan pelanggaran hak asasi.

Oleh karena itu, pemahaman yang lebih kritis terhadap bagaimana biopower beroperasi dan dampaknya sangat dibutuhkan untuk merancang kebijakan yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.

Mendekonstruksi biopower bukan berarti meniadakan seluruh manfaat yang telah dicapai, melainkan memahami ulang mekanisme-mekanisme kekuasaan tersebut untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif, adil, dan humanis serta memastikan keseimbangan antara kontrol negara dan kebebasan individu menuju kemandirian.

MENGGAGAS PERUBAHAN

Dekonstruksi praktik biopower, sebagaimana dikontekstualisasikan dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan, menjadi kebutuhan mendesak dengan tujuan tidak hanya untuk membongkar praktik kekuasaan yang tidak adil, timpang, serta diskriminatif, tetapi juga mengarahkan ulang kebijakan ke arah yang lebih humanis, adil, dan berbasis hak asasi manusia.

Berbagai hasil studi menemukan bahwa pranata sosial kultural lokal sebagai bagian dari civil society memiliki peran yang strategis dalam pembangunan kependudukan dan kesehatan, yang dapat menjembatani kesenjangan akses layanan kesehatan. Lembaga adat dan organisasi berbasis komunitas yang tumbuh dari akar sosial kultural lokal dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan kesehatan dengan cara yang lebih diterima masyarakat.

Pemanfaatan teknologi perlu dioptimalkan untuk memperluas akses layanan kependudukan dan kesehatan, terutama di wilayah yang sulit dijangkau. Telemedicine, aplikasi kesehatan berbasis ponsel, dan perangkat pemantauan kesehatan dapat menjadi solusi efektif.

Pendekatan desentralisasi dalam pengelolaan layanan kependudukan dan kesehatan perlu dioptimalkan untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan spesifik di setiap wilayah.

Akhirnya, diharapkan pembangunan kependudukan dan kesehatan tidak lagi hanya mendasarkan keberhasilannya pada pengendalian populasi semata, tetapi juga pada penciptaan kualitas hidup yang merata, berkelanjutan, dan inklusif, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang secara mandiri.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |