Pemerintah Diminta Bedakan Skema Subsidi Perumahan untuk MBR dan MBT

3 hours ago 1
Pemerintah Diminta Bedakan Skema Subsidi Perumahan untuk MBR dan MBT Silatnas Apersi 2025(Dok. MI)

PEMERINTAH diminta membedakan skema subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT). Skema tunggal dinilai tidak lagi efektif karena tidak mencerminkan daya beli dan kebutuhan riil di lapangan.

“Subsidi harus tetap berpihak pada yang benar-benar membutuhkan,” tegas Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah dalam acara Silatnas Apersi yang digelar di Jakarta, Kemarin. 

Menurut Junaidi, sulan ini tidak datang tiba-tiba. Berangkat dari realitas sosial ekonomi, banyak yang menilai skema subsidi saat ini masih terlalu seragam dan belum mempertimbangkan daya beli yang beragam di lapangan.

Dalam skema usulan baru, kata dia, MBR akan tetap difasilitasi dengan bunga ringan seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar 5%. Namun, untuk MBT — yakni masyarakat dengan penghasilan di atas Rp8 juta hingga Rp14 juta — diusulkan skema subsidi parsial dengan suku bunga hingga 7%.

"Harga jual rumah subsidi juga harus disesuaikan, misalnya untuk MBT idealnya rumah di bawah Rp250 juta, namun lebih dekat ke pusat kota agar efisien dari sisi mobilitas," kata dia.

Meski mendukung perluasan batas penghasilan penerima subsidi hingga Rp14 juta, Junaidi menekankan pentingnya proporsi yang adil, yakni 70% untuk MBR dan sisanya untuk MBT.

“Jangan sampai subsidi justru dinikmati mereka yang seharusnya sudah cukup mampu secara ekonomi,” ujar Junaidi.

Junaidi menjelaskan, dalam Silatnas kali ini, isu yang tidak kalah penting adalah soal syarat slip gaji  yang selama ini membatasi akses subsidi hanya untuk pekerja formal. Padahal, sekitar 70% penghasilan masyarakat Indonesia berasal dari sektor informalseperti pedagang, ojek online, dan UMKM.

"Di sini kami mendesak agar pemerintah membuka akses lebih luas dengan mekanisme verifikasi penghasilan yang lebih inklusif dan adil," kata dia.

Sekretaris Jenderal Apersi Deddy Indrasetiawan menambahkan, Karawang menjadi contoh nyata ketidaksesuaian antara kebijakan dan kenyataan di lapangan. Meski pendapatan masyarakatnya sudah tinggi (joint income rumah tangga bisa di atas Rp10 juta), batas penghasilan subsidi dan harga rumah tetap rendah.

“Harga rumah di Karawang bisa naik dari Rp1,66 miliar ke Rp1,86 miliar untuk menyesuaikan kualitas dan permintaan,” jelas Deddy.

Menanti Blueprint dan Reformasi Skema Subsidi

Meski Satgas telah merilis white paper yang komprehensif, blueprint resmi tetap belum diterbitkan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).

"Kalau tidak ada peta jalan yang jelas, program 3 juta rumah ini bisa gagal di implementasi,” ujar Junaidi lagi.

Diharapkan blueprint yang segera terbit dapat mengakomodasi diferensiasi skema subsidi ini agar lebih adil, realistis, dan tepat sasaran.

Sejauh ini Apersi selalu mendukung program pemerintah, tapi tetap prinsipnya sering mengingatkan, dan sikap kritis tetap jalan.

Menurut Junaidi, Silatnas Apersi itu pun digelar untuk menggali isu-isu terkini terkait industri properti, terutama bagaimana stakeholder yang diundang agar memberikan data faktual yang saat ini ditunggu-tunggu oleh para pengembang.

“Jadi bagaimana target program tiga juta rumah ini, kolaborasinya seperti apa. Jadi isu-isu terkini kami diskusikan dengan para mitra. Poinnya adalah bagaimana program tiga juta rumah ini bisa berjalan dengan baik, jangan sampai program yang sudah baik ini ada pihak-pihak yang kurang mendukung,” terangnya. (Z-10)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |