Pemerintah Didesak Kaji Ulang Kebijakan Efisiensi Anggaran

2 days ago 6
Pemerintah Didesak Kaji Ulang Kebijakan Efisiensi Anggaran Ilustrasi(Antara)

Pemerintah didesak mempertimbangkan kembali kebijakan efisiensi atau realokasi anggaran. Pasalnya, langkah itu menghambat pertumbuhan sektor riil lantaran belanja pemerintah untuk beberapa kegiatan dan program dipangkas besar-besaran.

"Ketika belanja pemerintah berkurang, sektor perhotelan, pariwisata, dan industri jasa langsung mengalami penurunan permintaan," ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Andalan Syafruddin Karimi kepada Media Indonesia, Selasa (11/3).

Menurutnya, hal itu amat disayangkan. Apalagi, sektor-sektor tersebut amat bergantung pada aktivitas konsumsi yang sering kali didorong dari pengeluaran negara seperti perjalanan dinas, penyelenggaraan acara, hingga proyek yang menunjang mobilitas masyarakat. Syafruddin mengatakan, efisiensi anggaran memang diperlukan. Namun semestinya hal itu tak serta merta menyebabkan pertumbuhan ekonomi jadi stagnan. Jika tetap kukuh menggunakan kebijakan efisiensi saat ini, diperlukan kebijakan lain sebagai penyeimbang.

"Perlu mengimbanginya dengan kebijakan yang mendorong sektor terdampak agar tetap tumbuh. Stimulus fiskal dapat menjadi solusi untuk menjaga daya beli masyarakat, misalnya melalui insentif pajak bagi industri terdampak atau program bantuan bagi pekerja sektor jasa. Insentif semacam ini akan memastikan bahwa bisnis tetap berjalan dan tenaga kerja tetap terserap," jelasnya. 

Selain itu, pemerintah juga dinilai dapat mendorong investasi di sektor produktif guna menciptakan lapangan kerja baru, mengingat tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus terjadi. Sektor manudaktur dan teknologi, kata Syafruddin, dapat menjadi prioritas dalam strategi mendongkrak perekonomian saat ini.

"Jadi, pemerintah harus memastikan bahwa efisiensi anggaran benar-benar bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan dana, bukan sekadar memangkas belanja yang justru memperlambat pertumbuhan ekonomi," kata dia. 

"Jika pemangkasan anggaran dilakukan tanpa strategi kompensasi, dampaknya akan langsung dirasakan oleh sektor-sektor padat karya seperti perhotelan, pariwisata, dan konsumsi domestik," lanjut Syafruddin.

Kebijakan Aneh bin Ajaib

Sementara itu, ekonom dari Bright Institute Awalil Rizky menyatakan kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto cukup membingungkan. Sebab, efisiensi pada hakikatnya menghemat belanja, namun pemerintah justru menarik uang dari pendapatan.

Diketahui salah satu yang disebut efisiensi berupa pengalihan laba badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp300 triliun kepada Danantara. Bagian laba BUMN merupakan item dalam Pendapatan, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang ditargetkan sebesar Rp90 triliun oleh APBN 2025.

"Cukup membingungkan tema besar efisiensi anggaran, yang dipotong atau dipindahkan justru pendapatan. Bahkan besaran Rp300 triliun pun seolah dipaksakan, mengingat nilainya hanya kisaran Rp80 triliun pada tahun 2023 dan 2024. Jika yang dimaksud berupa laba BUMN keseluruhan, maka perlu diingat ada bagian publik, karena tidak sepenuhnya milik pemerintah," kata Awalil. 

Pada saat bersamaan, pemerintah juga mengungkapkan bahwa dana sebesar Rp100 triliun akan disalurkan untuk penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN, yang direncanakan sebesar Rp44,25 triliun pada APBN 2025.

Masalahnya, kata Awalil, PMN tidak bisa dialokasikan begitu saja, tanpa ada penetapan dalam APBN yang merupakan Undang-Undang. Bahkan, alokasi PMN selalu dilengkapi dengan proposal atau rencana bisnis dari BUMN yang akan diberi, bukan sesuka pemerintah. 

Hasil pemotongan belanja yang ditargetkan mencapai Rp306 triliun versi Inpres atau sebesar Rp750 triliun versi pidato Presiden Prabowo juga sejauh ini belum dipastikan kejelasannya. Salah satu yang banyak disebut ialah untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Akan tetapi, kata Awalil, belum diketahui pula apakah itu berarti menambah alokasi Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai salah satu lembaga setingkat kementerian, atau tersebar dalam beberapa Kementerian dan Lembaga. Sejauh informasi yang beredar hanya akan ditambah Rp100 triliun, menajdi Rp171 triliun. 

"Artinya masih belum jelas alokasi sekitar Rp156 triliun versi Inpres atau Rp650 triliun versi pidato Prabowo," tuturnya. 

Bisa saja, sebagian hasil pemotongan untuk mengatasi kesulitan fiskal sedang dialami. Target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005 triliun berisiko tidak tercapai. 

Jika rencana belanja tidak berubah, hanya direalokasi, maka defisit sangat mungkin melampaui Rp616 triliun dan rasionya mendekati 3%. Apalagi jika bagian laba BUMN sebesar Rp90 triliun tidak masuk APBN, maka defisit makin lebar.

"Upaya efisiensi belanja merupakan langkah yang tepat. Namun ketidakjelasan dan ketidakpastian sejauh ini justru bisa memperburuk pengelolaan APBN," pungkas Awalil. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |