
PEMISAHAN pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal yang diputusan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat tanggapan dari sejumlah pihak. Kendati demikian, pemisahan itu juga menimbulkan sisi negatif yang perlu diantisipasi.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie, misalnya, menyororti potensi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) maupun calon anggota DPR maupun DPD yang gagal bakal berkontestasi di pemilu lokal.
Diketahui, pemisahan yang dilakukan MK mulai berlaku pada 2029. Nantinya, pemilu tingkat nasional akan lebih dulu digelar untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD. Setelah jeda minimal 2 tahun atau pada 2031, barulah digelar pemilu lokal untuk memilih kepala daerah serta DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
"Kemungkinan capres-cawapres yang kalah di 2029, atau caleg DPR RI di 2029 yang gagal, akan maju di 2031 berebut kursi kepala daerah atau DPRD," kata Gugun kepada Media Indonesia melalui keterangan tertulis, Sabtu (28/6).
Jika hal tersebut terjadi, Gugun berpendapat bahwa dampaknya jutru akan menutup peluang kader-kader lokal untuk maju. Padahal, salah satu misi dari pemisahan antara pemilu nasional dan lokal adalah mendorong para politisi daerah mengisi rotasi kepemimpinan di daerah mereka masing-masing.
Selain itu, pemisahan tersebut juga diharapkan memberikan waktu dan energi bagi partai politik untuk melakukan daerisasi kepemimpinan di tingkat nasional maupun lokal. Jika pemisahan diikuti dengan tujuan yang ideal, partai bakal memiliki waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi kader selama penyelenggaraan Pemilu 2029 sembari menyiapkan pemilu lokal pada 2031.
"Dengan siklus pemilu yang teratur begini, parpol menjadi lebih sehat, menjadi kawah candradimuka pengkaderan calon pemimpin yang berintegritas," jelasnya. (P-4)