
PENASIHAT hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Todung Mulya Lubis kecewa atas putusan sela majelis hakim yang menolak nota keberatan atau eksepsi kliennya. Hasto saat ini menjalani sidang terkait kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap.
"Kami mengharapkan eksepsi kami diterima, karena kasus ini tidak ada dasarnya dan penuh nuansa politik. Politisasi kasus ini begitu luar biasa," kata Todung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (11/4).
Todung menyoroti keanehan dalam proses hukum perkara Hasto, salah satunya dalam proses penyidikan, penetapan tersangka (P21), sampai pengadilan, yang dinilai berjalan sangat cepat dengan banyak kejanggalan.
Ia pun mempertanyakan motif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana pimpinannya kala itu baru diangkat sehingga dia menilai seharusnya terdapat kasus korupsi lain yang lebih penting untuk didahulukan.
Maka dari itu, dirinya menuturkan publik boleh berprasangka bahwa kasus tersebut merupakan upaya pencegahan agar Hasto tetap sebagai Sekjen PDI Perjuangan pada kongres mendatang.
Todung turut menilai terdapat ketidakseimbangan dalam proses pemeriksaan, yakni terkait pemanggilan saksi yang diajukan pihak Hasto, namun tak diacuhkan pihak KPK.
"Prinsip equality in arms dilanggar. Penuntut umum dapat waktu sangat longgar, termasuk memanggil saksi-saksi dari KPK," ucap dia.
Prinsip equality in arms merupakan kesamaan senjata dalam proses hukum, kata dia, memberikan keadilan pada kedua belah pihak, baik penuntut umum maupun kuasa hukum.
Menurutnya dalam kasus itu, penuntut umum memiliki waktu yang lebih banyak dibanding pihaknya, termasuk memanggil para saksi yang berasal dari KPK, sementara saksi dari pihak Hasto tidak dipanggil.
"Jadi hal-hal semacam ini tidak boleh terjadi kalau kita ingin mencari kebenaran materiel," ungkap Tudong.
Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi, yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka pada rentang waktu 2019-2024. Hasto diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Selain itu Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020. (Ant/H-4)