
MAHKAMAH Konstitusi (MK) buka suara terkait isu pemakzulan wakil presiden (wapres) Gibran Rakabuming Raka yang santer belakangan ini. Dikatakan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran presiden dan atau wapres presiden (menurut UUD).
Ketua MK Ketua Suhartoyo mengatakan, MK sebagai lembaga penguji Undang-Undang wajib memutuskan jika ada permohonan dari DPR terkait wacana pemberhentian presiden dan wakil presiden.
“Ini yang sering kita dengar dengan istilah impeachment atau pemakzulan,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta pada Senin (15/6).
Suhartoyo menjelaskan, sistem pemakzulan kepala negara merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dilakukan secara serampangan sebab ada pengaturannya dalam konstitusi.
Permohonan pemakzulan tersebut, lanjut Suhartoyo bisa diajukan apabila presiden dan atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum, di antaranya berupa pengkhianatan terhadap negara.
“Melakukan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,” katanya.
Selain itu, ada alasan lain yang bisa dijadikan dasar pemakzulan yakni apabila presiden dan atau wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Ini merupakan kewajiban yang diberikan kepada MK di samping 4 kewenangan, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, kemudian memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu,” tutur Suhartoyo.
Formil dan materiil
Suhartoyo mengatakan, pengujian UU terhadap UUD 1945 ini biasa disebut dengan judicial review (JR). Permohonan JR itu terdiri dari dua, yakni pengujian secara formil dan materiil.
Pengujian secara formil adalah pengujian UU soal tata cara atau prosedur pembentukan UU yang dinilai oleh pemohon cacat hukum atau bertentangan dengan konstitusi.
Ia menuturkan ada tenggat waktu untuk mengajukan permohonan pengujian formil, yakni maksimal 45 hari setelah UU itu diundangkan. Kalau dikabulkan, UU itu menjadi batal demi hukum.
“Artinya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujarnya.
Sedangkan pengujian materiil, yang dipersoalkan adalah mengenai substansi atau materinya. Tidak ada batas waktu untuk menguji materi suatu UU, sehingga materi UU yang sudah berpuluh-puluh tahun berlaku pun masih bisa diuji.
“(Diuji) mungkin pasalnya atau ayatnya atau bagian dari pasal atau bagian dari ayat,” imbuh Suhartoyo.
Core business MK
Lebih jauh, Suhartoyo mengungkapkan bahwa uji UU terhadap UUD 1945 merupakan core business (kegiatan inti) MK. Sedangkan kewenangan lainnya, merupakan tambahan yang diberikan kepada MK oleh pembentuk UU ketika negara ini akan mendirikan MK.
“Selanjutnya kewenangan MK menangani permohonan kewenangan antarlembaga negara. Permohonannya bisa mengajukan jika ada lembaga negara yang kewenangannya dikurangi atau diganggu oleh lembaga negara lainnya,” jelasnya.
Di samping itu, terkait kewenangan MK memutus permohonan pembubaran partai politik (parpol) karena asas, tujuan, maupun kegiatan dan dampak parpol tersebut, bisa dilakukan apabila bertentangan dengan konstitusi.
“Pemerintah bisa mengajukan gugatan ke MK supaya partai yang bersangkutan dibubarkan,” katanya. (Dev/I-1)