
PEMERINTAH kembali mengubah haluan kebijakan pendidikan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti secara resmi menghentikan Program Sekolah Penggerak (PSP) yang sebelumnya digagas oleh Menteri Nadiem Makarim. Hal itu tertuang dalam SK Mendikdasmen No 14 Tahun 2025 yang mencabut keputusan terdahulu No 371 Tahun 2021.
Meski demikian, PSP tidak benar-benar dihapus, melainkan disesuaikan dengan prioritas baru kementerian di bawah kepemimpinan Abdul Mu'ti. Salah satu pilar penguatan pendidikan era baru ini ialah penerapan pembelajaran mendalam (deep learning), serta integrasi pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial. Ini merupakan respons terhadap arah kebijakan Presiden Prabowo dalam Astacita keempat yang menitikberatkan pada pembangunan SDM unggul, penguasaan teknologi, dan penguatan sistem pendidikan nasional.
Di sisi lain, pemerintah juga berencana meluncurkan dua program besar lain, yaitu Sekolah Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat. Sekolah Garuda diharapkan melahirkan lulusan berstandar internasional dengan kurikulum khusus. Adapun Sekolah Rakyat dirancang untuk menjangkau anak-anak dari keluarga kurang mampu, dengan konsep berasrama dan fasilitas yang nyaman.
PEMBELAJARAN BERMAKNA DAN INKLUSIF
Konsep pembelajaran mendalam sejatinya merupakan kelanjutan dari semangat PSP. Ia menekankan pentingnya pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan—sebuah pendekatan yang menghargai keberagaman latar belakang dan gaya belajar siswa.
Pembelajaran tidak semata soal transfer ilmu, melainkan bagaimana peserta didik mampu mengolah pikir, hati, rasa, dan raga, serta mengasah nilai-nilai keimanan, kewargaan, komunikasi, kesehatan, hingga kreativitas dan kolaborasi.
Sementara itu, untuk menghadirkan generasi yang siap menghadapi tantangan digital, Kemendikdasmen melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) telah merilis panduan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial. Mulai tahun ajaran 2025/2026, sekolah bisa memilih untuk menjalankannya dalam tiga bentuk: sebagai mata pelajaran pilihan, terintegrasi dalam mata pelajaran lain, atau sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Metodenya pun bervariasi—baik berbasis perangkat (plugged), tanpa perangkat (unplugged), maupun berbasis internet.
SEKOLAH BERKUALITAS BERAWAL DARI GURU
Namun, semua ambisi dan program pendidikan yang megah ini akan sia-sia jika tak dimulai dari titik hulu: guru. Kesejahteraan, kemerdekaan dalam mengajar, hingga pelibatan guru dalam merancang program pelatihan—semuanya perlu ditata ulang. Terlalu sering, guru hanya menjadi objek kebijakan, bukan subjek yang turut merumuskan kebutuhan dan solusi.
Dalam bukunya, Potret Pendidikan Kita (2015), Ahmad Baidhowi menekankan pentingnya keterlibatan langsung akademisi ke ruang-ruang kelas. Selain memperkuat supervisi pembelajaran, kehadiran peneliti dari perguruan tinggi juga bisa memetakan kebutuhan profesional guru secara lebih tepat, sesuatu yang kadang tidak bisa lagi dilakukan oleh para pengawas yang sudah sepuh dan jauh dari dinamika kelas kekinian.
REFLEKSI DARI SEKOLAH SUKMA BANGSA
Terlepas dari pro-kontra seputar PSP, program ini sejatinya telah memicu transformasi pembelajaran di banyak sekolah. Di Sekolah Sukma Bangsa, misalnya, pendekatan pembelajaran berdiferensiasi telah menjadi arus utama. Guru memetakan kebutuhan dan gaya belajar siswa sejak awal, memberikan ruang fleksibel dalam proses belajar, hingga menyisipkan permainan edukatif yang menggembirakan.
Asesmen formatif juga menjadi alat penting untuk menilai progres siswa, bukan sekadar nilai akhir. Guru tak sekadar mengajar, tetapi mendampingi siswa sampai benar-benar memahami materi. Tahun ini, para guru di Sekolah Sukma Bangsa bahkan tengah memfinalisasi buku teks buatan sendiri yang mengangkat kearifan lokal sebagai bagian dari kurikulum.
Di bidang koding, sejak 2024 sekolah ini telah menerapkan Unplugged Tangible Coding (UTC), hasil kolaborasi dengan Leva Foundation (Afrika Selatan). Tak hanya itu, pelatihan koding dan analisis data juga telah dilaksanakan bersama Universitas Syiah Kuala dan lembaga ISSED, dengan pengenalan bahasa pemrograman seperti R, MySQL, dan Python.
Koding bahkan diintegrasikan dalam mata pelajaran konvensional. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, guru meminta siswa menyusun puzzle frasa dan klausa menjadi kalimat efektif. Ini bukan hanya menyenangkan, tapi juga memperkuat logika dan keterampilan berpikir komputasional siswa.
MENJADI SEKOLAH YANG DICITA-CITAKAN
BSKAP menetapkan empat ciri utama sekolah berkualitas yang dapat menjadi acuan bagi seluruh satuan pendidikan di Indonesia. Pertama, pembelajaran berpusat pada peserta didik, di mana siswa aktif terlibat dalam proses belajar dan guru berperan sebagai fasilitator yang menggali potensi mereka.
Kedua, guru yang reflektif dan terus belajar, terbuka terhadap masukan, serta aktif berbagi dan berkolaborasi. Ketiga, lingkungan sekolah yang aman, inklusif, dan menghargai keberagaman, sehingga setiap anak merasa diterima dan dihargai. Keempat, kepemimpinan sekolah yang partisipatif dan berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, dengan kepala sekolah sebagai penggerak perubahan yang menyatukan seluruh elemen sekolah dalam semangat bersama.
Hal yang menarik, keempat ciri ini berdiri di atas prinsip-prinsip mendasar pendidikan. Ia tidak melekat pada satu nama program tertentu, tidak terikat pada label-label kebijakan yang berubah seiring pergantian menteri atau periode pemerintahan. Ia adalah roh dari pendidikan itu sendiri.
Karena itu, penting bagi kita untuk tidak terjebak pada label program semata. Nama bisa berubah—dulu Kurikulum 2013, kemudian Merdeka Belajar, kelak mungkin akan hadir kurikulum atau program lain. Namun, yang terpenting ialah menjaga semangat yang terkandung di dalamnya: semangat pembelajaran yang bermakna, relasi yang sehat antara guru dan siswa, partisipasi komunitas, dan penguatan karakter.
Dalam konteks ini, warisan pemikiran Ki Hadjar Dewantara menjadi semakin relevan. Beliau tidak pernah menuliskan tentang kurikulum tertentu, tetapi mewariskan prinsip-prinsip yang abadi: menjadikan setiap tempat sebagai ruang belajar dan setiap orang sebagai guru.
Di tengah perubahan yang kadang membingungkan, prinsip inilah yang perlu terus dihidupkan. Sekolah bukan sekadar institusi formal, melainkan ruang kehidupan di mana nilai-nilai ditanamkan, potensi dibentuk, dan masa depan dijalani dengan harapan.
Kini, tantangan terbesar ialah bagaimana pemerintah mengawal implementasi visi ini secara konsisten. Bukan dengan jargon dan perubahan kurikulum yang mendadak, tapi dengan memastikan bahwa guru-guru kita benar-benar dimanusiakan, dilibatkan, dan diberdayakan. Hanya dengan cara itu, cita-cita pendidikan Indonesia emas 2045 bisa kita wujudkan, bukan sekadar wacana di atas kertas.