
WACANA penghapusan sistem outsourcing kembali mencuat dalam pidato Presiden RI Prabowo Subianto pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025. Presiden menyampaikan niat untuk secara bertahap menghapus praktik alih daya, seraya tetap menekankan pentingnya menjaga iklim investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Pernyataan ini menegaskan tantangan klasik dalam dunia ketenagakerjaan, merancang sistem yang melindungi hak-hak pekerja tanpa mengorbankan keberlanjutan usaha. Outsourcing atau alih daya, yang berkembang di berbagai negara, sejatinya merupakan strategi yang memberikan keunggulan kompetitif—baik melalui fleksibilitas operasional, efisiensi biaya, hingga adaptasi terhadap dinamika pasar tenaga kerja.
Di Indonesia, praktik ini kerap menjadi perdebatan karena dalam pelaksanaannya tidak selalu dibarengi dengan pengawasan dan perlindungan yang memadai. Di sinilah pentingnya regulasi yang kuat dan implementasi yang adil bagi semua pihak.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 168/PUU-XXI/2023 memperkuat urgensi pembenahan tersebut. MK mendorong ditetapkannya kriteria alih daya secara lebih terstruktur serta harmonisasi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Langkah ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menyusun regulasi teknis, seperti Peraturan Menteri, yang dapat memberikan kepastian hukum sekaligus menjamin keadilan bagi semua pihak.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, menekankan bahwa sistem outsourcing seharusnya tidak selalu dipandang negatif. Menurutnya, skema ini justru bisa menjadi instrumen perlindungan ketenagakerjaan dan memberikan kepastian hukum bagi pekerja formal.
Dia mengingatkan bahwa penghapusan outsourcing tanpa perbaikan menyeluruh berisiko mendorong pekerja formal berpindah ke sektor informal yang kurang terlindungi. Bob juga mencontohkan negara-negara seperti India dan Filipina yang berhasil memanfaatkan sistem outsourcing untuk memperkuat sektor ekonomi mereka.
Bob menyarankan agar fokus diarahkan pada perbaikan sistem perlindungan, peningkatan keterampilan, dan pemberian upah layak bagi pekerja outsourcing.
Sejalan dengan itu, sejumlah pelaku industri telah memulai langkah-langkah korektif melalui peningkatan transparansi, audit internal, serta penerapan standar etik dalam pengelolaan tenaga kerja alih daya.
Komitmen ini juga disuarakan oleh Yoris Rusamsi, Wakil Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), yang menekankan pentingnya pengawasan sebagai inti dari reformasi ketenagakerjaan.
“Sudah saatnya regulasi diarahkan pada pengawasan agar implementasi outsourcing lebih baik. Hukum alih daya di Indonesia telah banyak mengalami perubahan, jadi mari kita patuhi amanah dari MK dan fokus pada pengawasan yang lebih baik agar implementasi outsourcing dapat terawasi dan berjalan lebih efektif,” ujar Yoris.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa praktik outsourcing dapat tetap relevan dan bermanfaat selama dijalankan dengan prinsip kepatuhan dan tanggung jawab. Ketika dilakukan dengan benar, alih daya tidak hanya mampu menjawab kebutuhan efisiensi industri, tetapi juga menciptakan ruang perlindungan yang adil bagi tenaga kerja.
Isu alih daya semestinya tidak hanya dilihat dalam kacamata legal formal, tetapi juga sebagai refleksi dari dinamika pembangunan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Indonesia berada pada momentum penting untuk menata ulang sistem outsourcing agar mampu menjawab tuntutan globalisasi tanpa kehilangan pijakan pada keadilan sosial dan perlindungan pekerja. (I-3)