Kapal Induk Otonom Solusi Jaga Keamanan Laut Nusantara

1 month ago 25
Kapal Induk Otonom Solusi Jaga Keamanan Laut Nusantara Pengamat Maritim dari IKAL SC, Marcellus Hakeng Jayawibawa(Dok.Pribadi)

SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam menjaga keamanan maritimnya. Dengan luas wilayah yurisdiksi nasional 7,81 juta kilometer persegi, memiliki 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang sekitar 99.000 km, kebutuhan akan strategi pertahanan yang efektif menjadi sangat mendesak. 

Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC), Marcellus Hakeng Jayawibawa menekankan pentingnya pengembangan kapal induk otonom sebagai solusi modern untuk menjaga keamanan laut Nusantara. Hakeng menyoroti kebutuhan strategis Indonesia untuk memperkuat pertahanan maritimnya. 

"Dalam dinamika geopolitik saat ini, keberadaan kapal induk sering dianggap sebagai simbol kekuatan dan penggentar bagi negara lain," ujarnya. 

Namun, ia juga menekankan bahwa karakteristik perairan Indonesia yang unik, dengan kedalaman terbatas dan alur pelayaran yang sempit, menjadi tantangan tersendiri bagi pengoperasian kapal induk konvensional.

Hakeng juga menyoroti ancaman militer yang dihadapi Indonesia, termasuk potensi konflik wilayah dengan negara tetangga dan ancaman di jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). "Dalam konteks seperti itulah Indonesia memerlukan kapal induk helikopter, bukan kapal induk pesawat tempur seperti milik AS, Inggris, Perancis, ataupun China," jelasnya. 

Ia juga mencontohkan konsep kapal induk drone yang dikembangkan oleh Iran sebagai alternatif yang lebih efektif.

"Indonesia memiliki luas wilayah yurisdiksi nasional sekitar 7,81 juta km² dan garis pantai sepanjang sekitar 99.000 km. Dengan wilayah laut yang sangat luas, sekitar 5,8 juta km², kita membutuhkan strategi pertahanan yang kuat. Namun, kita juga harus mempertimbangkan kondisi geografis kita yang unik. Banyak wilayah perairan Indonesia yang memiliki kedalaman terbatas, alur pelayaran yang sempit, serta terumbu karang yang dapat menjadi hambatan bagi kapal perang berukuran besar dalam melakukan manuver," ujar Hakeng.

Ia mengambil contoh kapal induk sekelas USS Gerald Ford milik AS memiliki harga lebih dari Rp210 triliun. Sedangkan kapal induk helikopter yang lebih sesuai untuk Indonesia memiliki harga sekitar Rp15,9 triliun. Selain itu, biaya operasional kapal induk konvensional juga sangat tinggi, bisa mencapai lebih dari Rp5 miliar rupiah per hari untuk bahan bakar saja. Oleh karena itu, ia mengatakan perlu mencari solusi yang lebih efisien dan efektif.

Hakeng mengusulkan pengembangan kapal induk yang lebih kecil dan fleksibel, dengan tonase sekitar 20.000 hingga 30.000 ton, serta mengadopsi teknologi kapal induk otonom dan berbasis drone. "Dengan konsep ini, kapal induk tidak perlu bergantung pada pesawat tempur berawak yang membutuhkan landasan pacu besar, melainkan dapat mengerahkan armada drone udara dan laut yang lebih fleksibel," jelasnya.

Lebih lanjut, Hakeng juga menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek ekonomi dan industri dalam negeri dalam pembangunan kapal induk. "Dengan mengadopsi kapal induk yang lebih kecil dan berbasis drone, Indonesia dapat menghemat anggaran pertahanan dan mengalokasikan sumber daya untuk penguatan sektor pertahanan lainnya," ujarnya. Ia juga mendorong kerja sama dengan perusahaan galangan kapal lokal dan industri pertahanan dalam negeri untuk mendorong kemandirian.

Hakeng menekankan bahwa Indonesia membutuhkan kapal induk sebagai alat strategis dalam menjaga kedaulatan dan keamanan maritimnya. "Namun, pembangunan kapal induk tidak boleh hanya mengikuti tren global tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan kebutuhan operasional nasional," tegasnya. (M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |