Hilirisasi Nikel Jadi Jalan Indonesia Menuju Lompatan Industri Hijau

5 hours ago 2
Hilirisasi Nikel Jadi Jalan Indonesia Menuju Lompatan Industri Hijau Ilustrasi--Foto udara lokasi smelter nikel milik PT Antam Tbk di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara(ANTARA/Andry Denisah)

PEMERINTAH Indonesia terus memperkuat hilirisasi nikel sebagai fondasi pengembangan industri baterai kendaraan listrik (EV) dan upaya strategis menuju ekonomi hijau. 

Sejak kebijakan larangan ekspor bijih nikel diberlakukan pada 2014, nilai ekspor produk olahan nikel melonjak dari sekitar US$1 miliar menjadi lebih dari US$33,64 miliar pada 2024. 

Hilirisasi ini turut menyumbang pertumbuhan sektor industri pengolahan, menciptakan ribuan lapangan kerja, serta meningkatkan nilai tambah dalam negeri secara signifikan.

Saat ini, Indonesia mulai melangkah ke fase berikutnya, membangun ekosistem industri EV Battery secara terintegrasi, mulai dari produksi prekursor hingga perakitan sel baterai dan kendaraan listrik. 

Proyek-proyek besar seperti pembangunan pabrik baterai di Karawang dan Morowali menunjukkan komitmen kuat untuk menciptakan rantai pasok domestik yang kompetitif di pasar global.

Jika berhasil diakselerasi, pengembangan ekosistem ini diproyeksikan menghasilkan nilai tambah yang jauh lebih besar. 

Sebagai pembanding, Tiongkok, yang membangun rantai pasok EV sejak dekade lalu, pada 2023 mencatat kontribusi industri EV dan baterai mencapai lebih dari US$150 miliar dan menjadikan negara tersebut sebagai eksportir utama kendaraan listrik dunia.

Wakil Ketua Komite Hilirisasi Mineral dan Batubara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Djoko Widayatno, menegaskan bahwa hilirisasi nikel telah memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. 

Namun, ia menekankan pentingnya mendorong hilirisasi ke tahap lanjutan, yakni pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik (EV), untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar dan berkelanjutan.

Djoko mengungkapkan bahwa sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan pada 2014 dan diperkuat pada 2020, ekspor produk olahan nikel Indonesia melonjak tajam. 

Pada 2014, nilai ekspor nikel olahan tercatat sekitar Rp17 triliun, sedangkan pada 2023 mencapai Rp510 triliun. Indonesia kini menjadi eksportir nikel olahan terbesar di dunia.

“Indonesia sudah mencetak capaian strategis dalam hilirisasi nikel. Namun, agar proses ini benar-benar berkelanjutan dan inklusif, perlu diperkuat dengan tata kelola yang baik dan pembangunan ekosistem industri yang komprehensif,” kata Djoko kepada wartawan, Rabu (26/6).

Menurutnya, langkah selanjutnya harus diarahkan pada pengembangan produk akhir seperti baterai EV dan stainless steel, bukan sekadar produk setengah jadi. 

Dia mencatat, nilai tambah dari produk berbasis baterai bisa mencapai ratusan kali lipat dibandingkan bijih mentah. Sebagai contoh, mixed hydroxide precipitate (MHP) bernilai hingga 120 kali dari bijih nikel, sementara baterai sel EV bisa mencapai 642 kali lipat.

Djoko melanjutkan, Indonesia harus belajar dari keberhasilan Tiongkok dalam mengembangkan industri baterai EV sebagai bukti potensi ekonomi besar dari hilirisasi lanjutan. 

Saat ini, Tiongkok menguasai sekitar 60% produksi EV global dan 80% pasar baterai dunia, serta menjadi pusat teknologi dan rantai pasok kendaraan listrik terbesar secara global.

“Untuk itu, kami mendorong pemerintah memperkuat tata kelola lingkungan, memperluas pelatihan SDM lokal, serta mendorong transfer teknologi agar industri hilir nikel memberikan manfaat maksimal bagi Indonesia,” ujarnya.

Djoko menekankan pentingnya mengarahkan nikel kelas satu (high grade) untuk produk baterai EV, bukan hanya stainless steel guna memaksimalkan potensi nikel dalam transisi energi dan mendukung target Net Zero Emissions (NZE) 2060. 

Selain itu, dia juga mendorong penggunaan teknologi bersih seperti High Pressure Acid Leach (HPAL) dan penerapan standar Environment, Social, and Governance (ESG) di seluruh rantai pasok.

“Transportasi masa depan harus ditopang oleh industri yang berkelanjutan. Nikel kita harus menjadi tulang punggung transisi energi hijau, bukan sekadar komoditas ekspor jangka pendek,” tutupnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |