
UNIVERSITAS Harvard menyelenggarakan wisuda ke-374 pada Kamis (29/5) di tengah tekanan politik yang intens dari pemerintahan Presiden Donald Trump, yang mengancam eksistensi dan otonomi salah satu institusi pendidikan tertua dan paling berpengaruh di dunia.
Dalam beberapa bulan terakhir, Harvard menjadi pusat serangan kebijakan Gedung Putih yang mempermasalahkan aktivisme pro-Palestina dan mencerminkan antisemitisme di kampus.
Di antara tindakan terbarunya, pemerintahan Trump meminta lembaga federal untuk membatalkan kontrak senilai sekitar US$100 juta dengan universitas tersebut. Lebih dari US$2,6 miliar dalam bentuk hibah penelitian telah dibekukan dan ancaman untuk mencabut status bebas pajak serta pembatasan visa mahasiswa internasional terus meningkat.
Pada Rabu (28/5), Presiden Trump menyarankan agar porsi mahasiswa internasional di Harvard dikurangi dari 25% menjadi hanya 15%. Sehari sebelumnya, AS menghentikan penjadwalan wawancara visa bagi mahasiswa asing yang akan kuliah di berbagai universitas di negara itu.
Harvard gugat pemerintah
Didukung oleh dana abadi sebesar US$53 miliar, Harvard kini menjadi ujian sejauh mana lembaga pendidikan dapat melawan tekanan eksekutif.
“Kami yakin bahwa tindakan pemerintah yang melampaui batas dan serangan yang menghancurkan terhadap penelitian ilmiah dan medis tidak beralasan dan melanggar hukum, jadi kami telah mengambil tindakan hukum untuk membela lembaga tersebut,” ujar Presiden Harvard Alan Garber kepada media universitas seperti dilansir AFP, Kamis (29/5).
Universitas tersebut telah mengajukan gugatan untuk menghentikan pembekuan dana dan larangan penerimaan mahasiswa internasional. Gugatan lanjutan dijadwalkan dilayangkan ke pengadilan federal di Boston pada Kamis, bertepatan dengan prosesi wisuda.
Garber menyatakan bahwa meski kritik terhadap universitas kerap tidak berdasar atau dipenuhi distorsi, institusi tetap wajib merefleksikan diri.
Dia juga menugaskan laporan internal terkait antisemitisme dan diskriminasi anti-Arab di lingkungan kampus tahun lalu.
Wisuda berbalut kritik
Acara wisuda tahun ini turut diwarnai kritik dan dukungan terhadap posisi universitas.
Pembicara utama, Dr. Abraham Verghese yang juga pakar penyakit menular dari Stanford memberikan orasi kehormatan.
Sementara itu, pada acara “Class Day” sehari sebelumnya, jurnalis Christiane Amanpour dan legenda NBA sekaligus aktivis Kareem Abdul-Jabbar memberikan pidato yang mengapresiasi keberanian Harvard.
“Ketika pemerintahan yang tiran mencoba untuk menggertak dan mengancam Harvard, mencabut kebebasan akademis mereka dan menghancurkan kebebasan berbicara, Dr. Alan Garber menolak tekanan yang ilegal dan tidak bermoral itu,” ujar Abdul-Jabbar, disambut tepuk tangan meriah.
Dia bahkan membandingkan sikap Garber dengan perjuangan Rosa Parks melawan segregasi rasial di Amerika.
Klaim pemerintahan Trump
Pemerintahan Trump mengeklaim langkah-langkah yang diambil bertujuan untuk melindungi mahasiswa dan staf pengajar Amerika dari kekerasan dan pelecehan antisemit, dengan merujuk pada gelombang protes kampus terhadap Israel.
Seperti banyak kampus lain di AS, mahasiswa Harvard sebelumnya mendirikan tenda protes dan menuntut universitas menarik investasinya dari perusahaan yang terlibat dalam konflik Gaza.
Tahun lalu, ratusan mahasiswa meninggalkan prosesi wisuda sambil meneriakkan "Bebaskan, bebaskan Palestina."
Beberapa pengunjuk rasa tidak menerima ijazah saat upacara, meskipun akhirnya sebagian besar dari mereka tetap mendapatkannya.
Meskipun demonstrasi tahun ini telah mereda, para aktivis tetap merencanakan doa bersama menjelang upacara wisuda.
Salah satu lulusan, Victor Wallis, menyatakan, sebagai lulusan Harvard, dia merasa ngeri dengan pembunuhan massal warga Palestina oleh Israel termasuk dengan kelaparan yang disengaja, penghancuran total Gaza, penargetan rumah sakit, serangan terhadap lembaga pendidikan dan budaya Palestina, serta pembunuhan jurnalis yang tiada henti.
Sementara Harvard memperjuangkan haknya di pengadilan, universitas-universitas lain di AS mencermati kasus ini dengan seksama, karena hasilnya bisa menjadi preseden penting bagi otonomi akademik di era politik yang semakin intens. (Fer/I-1)