Hari Pertama yang Bermakna: Menyemai Relasi di Kelas Baru

11 hours ago 5
 Menyemai Relasi di Kelas Baru (MI/Duta)

HARI pertama di sekolah menengah bukan sekadar perpindahan ruang belajar, melainkan juga lompatan emosional bagi anak-anak yang baru meninggalkan masa kecil mereka di bangku sekolah dasar. Di tengah lorong yang asing dan wajah-wajah baru, benak mereka dipenuhi pertanyaan: Apakah aku akan merasa aman di sini? Ternyata, yang mereka cari bukan fasilitas mewah atau program sekolah yang megah, melainkan hal-hal paling sederhana—senyum seorang guru, sapa hangat, dan tatapan yang penuh penerimaan. Sosok wali kelas menjadi figur penting yang pertama kali mereka amati dan harapkan.

Berdasarkan pengalaman saya mengelola kelas baru, hari pertama bukan hanya ajang perkenalan, melainkan juga kesempatan emas untuk membangun rasa aman, keterhubungan, dan semangat belajar. Karena itu, saya merancang hari pertama dengan lima strategi utama: membersihkan kelas bersama, bermain untuk saling mengenal, menyusun kesepakatan kelas, merancang ruang belajar yang nyaman, dan menanamkan budaya positif sejak awal. Langkah-langkah sederhana itu menjadi pijakan penting untuk membentuk relasi yang sehat dan suasana kelas yang suportif sejak hari pertama.

MERAWAT BERSAMA, BERTUMBUH BERSAMA

Langkah pertama ialah mengajak siswa bersih-bersih kelas secara gotong royong. Meski terlihat sederhana, bahkan mungkin dianggap remeh, kegiatan itu sesungguhnya memuat makna edukatif dan simbolis yang dalam. Ia mencerminkan filosofi bahwa ruang kelas bukan sekadar tempat belajar, melainkan juga rumah kedua bagi para siswa.

Dengan melibatkan siswa secara langsung dalam merapikan meja, menyapu lantai, membersihkan papan tulis, menyiram tanaman, dan mencuci dispenser air minum, pelajaran penting sedang ditanamkan: bahwa kelas ini ialah tanggung jawab bersama. Nilai-nilai yang dibangun bukan sekadar kebersihan, melainkan juga rasa kepemilikan dan kepedulian.

Ki Hadjar Dewantara pernah berkata bahwa pendidikan seharusnya membentuk manusia seutuhnya. Artinya, sekolah dan guru tidak hanya bertugas mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan karakter. Salah satu cara sederhana untuk mewujudkannya ialah melalui kegiatan bersih-bersih bersama. Lewat kegiatan itu, siswa belajar tentang gotong royong, tanggung jawab bersama, dan kemandirian. Meski tidak semua siswa terbiasa dengan pekerjaan seperti itu, mereka bisa belajar langsung cara berbagi tugas, saling membantu, dan menyelesaikan sesuatu bersama-sama.

TAWA PERTAMA, LANGKAH PERTAMA

Hari pertama di kelas baru diwarnai suasana ceria dan penuh semangat. Seusai membersihkan kelas, saya mengajak siswa membentuk dua lingkaran besar, berpegangan tangan, dan bersiap bermain tanpa meja atau kursi. Permainannya sederhana: saya menyebut warna lalu siswa bergerak sesuai arah yang ditentukan. Jika salah, mereka maju ke tengah untuk memperkenalkan diri dengan menyebut nama, hobi, dan makanan favorit.

Tak ada hukuman atau ejekan, kesalahan dalam permainan justru dijadikan kesempatan untuk saling mengenal. Tawa mengisi ruangan tiap kali gerakan meleset lalu disambut hangat oleh teman baru. Permainan ini bukan sekadar penghangat suasana, tetapi juga sarana membangun relasi awal yang positif, sekaligus memperkenalkan kosakata bahasa Inggris secara menyenangkan.

ATURAN HATI, BUKAN SEKADAR TERTULIS

Penyusunan struktur, budaya, dan aturan kelas menjadi aspek penting. Namun, aturan kelas tidak sebaiknya ditetapkan secara sepihak oleh wali kelas. Diskusi partisipatif dilaksanakan agar siswa terlibat langsung dalam menyusun aturan. Mereka diajak merancang do and don’t, serta menyusun konsekuensi dari setiap pelanggaran yang mungkin terjadi.

Guru mengambil peran sebagai fasilitator. Siswa menyampaikan pendapat, beberapa masih ragu-ragu. Ada ide yang berani, ada pula yang belum logis. Namun, semua disambut. Yang belum tepat diluruskan melalui diskusi, bukan lewat penolakan langsung. Dialog dijadikan sarana berpikir dan membentuk nilai.

Setelah proses penyaringan, ide-ide disusun menjadi kesepakatan bersama. Alfie Kohn (dalam Santosa, 2023) menyebutkan, “Students are more likely to follow rules they helped create.” Ketika aturan lahir dari proses bersama, kepatuhan hadir bukan karena takut, melainkan karena rasa tanggung jawab.

MENATA RUANG, MENATA RASA

Pada hari pertama, siswa diajak berdiskusi untuk merancang tampilan ruang kelas yang rapi dan estetis, dari sketsa hingga penataan meja dan sudut baca. Aktivitas itu menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab karena siswa tak sekadar menempati kelas, tetapi mulai merawatnya sebagai bagian dari diri mereka.

Hari pertama memang belum cukup untuk mengenal semua anak secara mendalam. Namun, di sanalah fondasi diletakkan. Harapan dan rasa percaya mulai disemai. Sebagai wali kelas, peran utama bukan hanya sebagai pengajar, melainkan juga sebagai ruang aman pertama yang mereka temui. Kehangatan yang diberikan tidak hanya harus terasa oleh siswa, tetapi juga menjadi pengingat bagi kita semua akan makna sejati menjadi seorang pendidik.

MEMBUKA PINTU HATI

Dr James P Comer (2004) menekankan pentingnya relasi positif antara guru dan murid sebagai kunci keberhasilan belajar. Karena itu, hari pertama sekolah sebaiknya dimaknai bukan sekadar pengenalan aturan atau ruang kelas, melainkan juga momentum strategis untuk membangun kesan pertama yang positif, menumbuhkan rasa memiliki, dan memulai hubungan yang sehat antara siswa, guru, dan lingkungan belajar.

Di kelas yang saya dampingi, hari pertama sekolah menghadirkan beragam emosi, dari semangat hingga kecemasan, yang mencerminkan tantangan adaptasi siswa baru di jenjang menengah. Untuk menciptakan suasana hangat dan mendukung, saya menginisiasi kegiatan sarapan bareng (sabar) sebagai ruang sosial yang sederhana, tetapi bermakna. Duduk bersama, berbagi bekal, dan mengobrol ringan menjadi cara efektif mencairkan suasana dan menumbuhkan kedekatan.

Studi APA (2020) pun menguatkan bahwa interaksi semacam itu dapat meredakan kecemasan dan membangun hubungan yang sehat. Melalui momen itu, kehadiran wali kelas dirasakan sebagai bentuk penerimaan dan kepedulian, landasan penting bagi kepercayaan awal siswa terhadap lingkungan baru mereka.

Hari pertama sekolah bukan sekadar rutinitas administratif, melainkan juga momen penting untuk menanam rasa aman, membangun keterhubungan, dan menumbuhkan kepercayaan. Dengan menghadirkan suasana yang hangat, partisipatif, dan penuh perhatian sejak awal, guru tidak hanya membuka ruang kelas, tetapi juga membuka ruang hati yang akan menjadi fondasi pembelajaran bermakna sepanjang tahun.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |