Hari Pertama Sekolah, Momen Psikologis Penting untuk Masa Depan Anak

11 hours ago 5
Hari Pertama Sekolah, Momen Psikologis Penting untuk Masa Depan Anak Siswa baru SD Negeri 16 Sumbawa mengikuti MPLS.(Medcom/Renatha Swasty)

HARI pertama sekolah sering kali hanya dipandang sebagai kegiatan rutin: mulai dari mengisi daftar hadir, mengenakan seragam baru, hingga mengenalkan lingkungan sekolah secara cepat. Namun, di balik momen yang tampak sederhana ini, tersembunyi transisi psikososial yang sangat penting bagi seorang anak. Inilah titik awal seorang anak membentuk persepsi tentang sekolah, proses belajar, serta hubungannya dengan teman sebaya dan guru.

Psikolog Zarina Akbar menjelaskan bahwa pendekatan sekolah terhadap siswa pada hari pertama bisa menjadi penentu bagaimana anak akan menjalani proses pendidikan selanjutnya. 

“Kesan pertama itu penting. Anak-anak menyerap sinyal dari lingkungan. Apakah mereka diterima, diperhatikan, dan dihargai, atau justru merasa sendiri dalam situasi baru,” ungkapnya.

Dalam makalahnya, dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Jakarta itu menekankan bahwa hari pertama sekolah memiliki kekuatan membentuk keyakinan dasar anak terhadap sekolah. 

MI/HO--Psikolog Zarina Akbar

Jika kesan yang tertanam bersifat positif, hal itu akan memperkuat keinginan anak untuk datang kembali ke sekolah. Sebaliknya, jika kesan itu negatif—merasa tidak aman, bingung, atau takut—anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang pasif, tidak percaya diri, dan menolak sekolah.

Kesalahan Umum: Fokus pada Tata Tertib, Bukan Rasa Aman

Sayangnya, banyak sekolah di Indonesia masih memaknai hari pertama secara sempit, sebagai hari pembagian buku, pengenalan jadwal, dan pemberitahuan tata tertib. Proses ini berjalan terlalu cepat dan tidak memberi ruang bagi anak untuk membangun rasa aman secara emosional. 

“Bagi banyak anak, terutama yang baru pertama kali masuk sekolah, hari pertama adalah pengalaman besar. Namun sekolah sering kali hanya menekankan aspek administratif. Anak langsung disuguhi aturan, tanpa diberi ruang untuk mengenal, merasa nyaman, dan membangun koneksi sosial,” tegas Zarina.

Pendidikan Positif dan Iklim Sekolah Inklusif

Sebagai alternatif, lulusan S3 bidang Education and Rehabilitative Psychology dari University of Leipzig, Jerman itu menawarkan pendekatan Pendidikan Positif (Positive Education), yang memadukan praktik psikologi positif dalam lingkungan belajar. 

Berdasarkan teori PERMA dari Seligman (2009) — singkatan dari Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning, dan Accomplishment — pendidikan positif mendorong siswa untuk merasa baik, terlibat aktif, menjalin hubungan sosial yang sehat, menemukan makna, dan meraih pencapaian. Strategi ini terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan motivasi belajar dan kesejahteraan psikologis siswa.

“Pendidikan positif bukan sekadar pendekatan manis, tapi strategi ilmiah. Penelitian Shoshani dan Steinmetz (2014) menunjukkan bahwa pendekatan ini menurunkan kecemasan, meningkatkan resiliensi, dan membangun iklim sekolah yang lebih suportif,” jelas Zarina, yang aktif menulis publikasi ilmiah di bidang psikologi pendidikan dan budaya.

Ia juga menekankan pentingnya iklim sekolah positif, atau positive school climate, yakni lingkungan belajar yang aman, mendukung, dan memberdayakan semua individu di dalamnya. 

Penelitian Thapa dkk. (2013) menunjukkan bahwa iklim sekolah berpengaruh langsung terhadap prestasi akademik, keterlibatan aktif siswa, serta kesehatan mental jangka panjang.

Sekolah Harus Siap Menyambut Anak, Bukan Sebaliknya

Hari pertama sekolah, kata Zarina, merupakan momen krusial untuk membentuk iklim tersebut. Sekolah dapat memanfaatkan hari ini untuk membangun kelekatan emosional antara guru dan siswa, menumbuhkan rasa memiliki, serta menciptakan koneksi sosial antar siswa. 

Ia menyarankan agar guru menyambut siswa dengan hangat, menanyakan perasaan mereka, membacakan cerita, bermain perkenalan, dan menyusun aturan kelas bersama secara partisipatif.

Ia juga menambahkan, pendekatan ini tidak memerlukan anggaran besar atau kurikulum baru. 

“Kuncinya ada pada pola pikir pendidik. Sekolah harus bergeser dari cara pandang ‘anak siap masuk sekolah’ menjadi ‘sekolah siap menerima anak’,” kata Zarina. 

Ketika guru mampu membangun rasa aman dan diterima pada hari pertama, anak akan lebih percaya diri, lebih mau mencoba, dan lebih terbuka dalam proses belajar.

Contoh kegiatan yang direkomendasikan antara lain: membuat ‘peta kekuatan’ di mana siswa menuliskan kelebihan mereka, menciptakan ‘pohon harapan’ bersama, atau memberi ruang untuk anak menyuarakan harapan dan kekhawatirannya. 

Aktivitas seperti ini bukan hanya memperkuat aspek sosial-emosional, tetapi juga menumbuhkan semangat dan makna terhadap proses belajar itu sendiri.

“Bayangkan jika hari pertama sekolah dipenuhi oleh tawa, rasa penasaran, dan dukungan emosional. Maka hari-hari selanjutnya akan terasa lebih ringan, karena anak punya bekal semangat sejak awal,” ujar Zarina.

Sebagai penutup, Zarina mengajak semua pihak—guru, kepala sekolah, orang tua, hingga pembuat kebijakan—untuk memperlakukan hari pertama sekolah sebagai momen penting yang layak dirancang dengan penuh perhatian. 

“Sekolah bukan sekadar tempat menyampaikan kurikulum, tapi juga tempat menumbuhkan harapan. Dan itu dimulai dari hari pertama,” tandasnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |