
SEORANG Hakim Federal sementara waktu menghentikan perintah larangan pemerintahan Trump, terhadap kemampuan Universitas Harvard menerima mahasiswa internasional.
Hakim Pengadilan Distrik AS, Allison Burroughs, mengeluarkan putusan beberapa jam setelah universitas tertua dan terkaya di Amerika tersebut mengajukan gugatan, Jumat (23/5). Harvard berpendapat pencabutan sertifikasinya dalam Program Mahasiswa dan Pertukaran Pelajar (Student and Exchange Visitor Program/SEVP) adalah “tindakan balas dendam yang jelas” atas penolakan mereka terhadap tuntutan kebijakan pemerintah yang berakar pada ideologi tertentu.
Burroughs adalah hakim yang sama yang juga menangani gugatan terpisah dari Harvard terkait pembekuan dana federal sebesar US$2,65 miliar oleh pemerintah.
Dalam gugatan terbarunya, Harvard menyatakan keputusan pada Kamis untuk mengeluarkan universitas tersebut dari sistem SEVP milik Departemen Keamanan Dalam Negeri melanggar hukum.
“Itu adalah tindakan terbaru dari pemerintah yang merupakan balas dendam nyata atas keputusan Harvard dalam menggunakan hak Amandemen Pertama untuk menolak tuntutan pemerintah dalam mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas serta mahasiswa Harvard,” bunyi gugatan tersebut.
Burroughs, yang ditunjuk oleh Presiden Obama, menyatakan Harvard telah menunjukkan mereka akan mengalami “kerugian langsung dan tidak dapat diperbaiki”, jika pemerintah diizinkan mencabut sertifikasi sebelum pengadilan memutuskan perkara ini.
Sidang jarak jauh untuk kasus ini dijadwalkan berlangsung pada hari Selasa. Dua hari setelahnya, hakim dijadwalkan mendengar argumen di gedung pengadilan federal di Boston mengenai apakah akan mengeluarkan perintah pengadilan awal — yaitu perintah untuk memblokir tindakan pemerintah sampai keputusan akhir dalam gugatan ditetapkan.
Ancaman Terhadap Ribuan Mahasiswa Internasional
Pemerintah federal menyatakan bahwa akibat pencabutan ini, Harvard tidak boleh lagi menerima mahasiswa asing dan mahasiswa internasional yang sedang belajar di sana harus segera pindah atau kehilangan status hukum mereka di Amerika Serikat. Hal ini diperkirakan berdampak pada hampir 7.000 mahasiswa internasional—yang mencakup sekitar 27,2% dari total populasi mahasiswa Harvard tahun akademik 2024-2025.
Presiden Harvard, Alan Garber, menegaskan komitmennya terhadap mahasiswa internasional. "Kalian adalah teman, kolega, dan mitra kami dalam membangun institusi ini. Dunia ini lebih cerdas dan tangguh karena kehadiran kalian. Kami akan terus mendukung kalian dan memperjuangkan agar Harvard tetap terbuka bagi dunia.”
Konflik Ideologis
Keputusan pemerintah ini datang di tengah gelombang tekanan terhadap berbagai universitas di AS, yang dituduh gagal menangani kasus antisemitisme dan mempromosikan kebijakan keberagaman yang dianggap “rasis” oleh pemerintahan Trump. Harvard secara khusus dituding memupuk lingkungan yang pro-Hamas dan tidak aman bagi mahasiswa Yahudi.
Pejabat DHS, Kristi Noem, mengklaim universitas tersebut tidak menyerahkan dokumen disiplin mahasiswa asing sebagaimana diminta. Namun, Harvard membantah tuduhan itu. Mereka telah memberikan dokumen yang diminta, tetapi dinyatakan “tidak memadai” tanpa penjelasan yang jelas dari DHS.
“Pemerintah bahkan tidak memberi Harvard kesempatan untuk membela diri sebelum mencabut sertifikasinya,” kata pihak universitas dalam berkas gugatannya.
Kebijakan Politik atau Serangan terhadap Akademisi?
Banyak yang melihat langkah ini sebagai serangan langsung terhadap kebebasan akademik dan otonomi institusi pendidikan. Harvard menyebut permintaan pemerintah, termasuk audit terhadap pandangan politik mahasiswa dan staf, sebagai tindakan yang melampaui batas konstitusional.
Lawrence Summers, mantan presiden Harvard dan mantan Menteri Keuangan AS, menyebut tindakan ini sebagai “pemerasan” politik. "Ini adalah balas dendam pemerintah karena perbedaan pendapat ideologis dengan Harvard. Mengusir setiap mahasiswa Israel dari kampus justru lebih diskriminatif terhadap Yahudi daripada isu yang coba diperangi pemerintah," ujarnya.
Masa Depan Mahasiswa Internasional
Mahasiswa seperti Jared dari Selandia Baru, yang seharusnya memulai kuliahnya musim gugur ini, kini merasa hatinya hancur. "Harvard adalah impian saya. Saya sudah mempersiapkan visa dan keberangkatan. Sekarang semuanya menggantung," katanya. Sementara itu, mahasiswa asal Austria, Karl Molden, menyebut situasi ini sebagai bentuk “permainan kekuasaan antara demokrasi dan otoritarianisme.”
Para staf dan dosen Harvard juga khawatir. Seorang profesor ekonomi, Jason Furman, menyebut kebijakan ini sebagai “bencana total dalam segala aspek.” (CNN/Z-2)